dua puluh tiga

4.8K 536 31
                                    

"Aku juga butuh waktu buat ngomong sama dia." ujar Azeta. Karel mengangguk, berusaha mengerti. Dan Kiev pun datang dengan box mainannya.

Azeta mengatakan pada Kiev bahwa mainannya sudah terlalu banyak dan Kiev yang sudah di beri pemahaman akan berbagi pada sesama mengerti bahwa sudah seharusnya ia berbagi mainannya pada anak-anak yang tidak seberuntung dirinya.

"Kita pergi ke tempat Jojo kapan, Mom?" tanya Kiev. Ia sering menyebut panti asuhan dengan tempat Jojo karena Jojo adalah teman bermainnya saat disana.

"Habis les piano?" Azeta mencoba berdiskusi dengannya.

"Boleh," katanya langsung setuju. "Uncle Karel mau ikut?" tawar Kiev padanya. Pria yang tengah takjub menatap putranya itu agak terkejut. Ia mengerjapkan mata.

"Mmm-"

"Mm, Uncle Karel pasti ada acara sendiri sama keluarganya." ujar Azeta yang ia pikir mewakili Karel. Ia tak ingin karel terpaksa melakukannya atau mengganggu weekendnya.

"Uncle ikut." putus Karel yang sontak membuat Zeta menatapnya.

"Bener?" mata Kiev melebar. Karel mengangguk dan tersenyum. Azeta masih memandanginya dan tak mengatakan apapun.

"Hooray!" girang Kiev. Azeta beralih menatap putranya itu. Ia tak ingat kapan kali terakhir Kiev segirang ini.

"Oke, kalo gitu sekarang Kiev masuk kamar, cuci tangan, cuci kaki dan tidur."

"Tapi kan masih ada Uncle Karel." bantah Kiev. Selama ini Kiev tidak pernah membantah kata-kata Azeta sebelumnya. Sepertinya Karel akan menjadi favorit Kiev, padahal mereka baru beberapa kali bertemu. Walaupun Kiev belum tau bahwa Karel adalah ayah kandungnya, tapi sepertinya ia sudah terikat dengan pria itu.

"Tadi udah main sama Uncle Karel, kan? Mommy juga ada perlu sama Uncle Karel."

"Berdua aja?" Tanya Kiev sedih.

"Gimana kalo Uncle temenin tidur?" Tawar Karel sembari menatap Azeta, meminta ijin. Raut Kiev berubah seketika. Ia tersenyum lebar menampilkan giginya.

"Boleh kan, Mommy?" Bujuk Kiev. Zeta mendesah pelan lalu mengangguk.

"Oke."

"Thank you, Mommy." Ucap Kiev sembari menghambur ke arah Azeta dan mengecup pipinya. Kiev segera menggandeng tangan Karel, mengajak pria itu ke kamarnya. Azeta mengikutinya.

Kiev mengajak Karel melihat-lihat kamarnya sebelum mereka berbaring di ranjang bocah laki-laki itu. Azeta bersandar pada daun pintu dan memperhatikan ayah dan anak itu. Karel membacakan cerita untuk Kiev dan Azeta tiba-tiba berkaca-kaca.

Apakah Kiev akan sangat senang jika tahu jika Karel adalah ayah kandungnya selama ini? Tapi bagaimana perasaannya saat tahu bahwa kedua orang tuanya tidak akan bisa bersama?

Karena tidak ingin terpergok Karel, Azeta pun menyingkir. Ia mengusap air matanya dan menuju dapur. Ia mencengkeram pinggiran konter dan menggigit bibir bawahnya.

Tidak boleh, ia tidak boleh berharap banyak pada pria itu. Ia tidak boleh egois. Karel punya kehidupan sendiri dan ia tidak ingin berada di dalamnya. Cukup Kiev saja yang menghubungkan mereka.

Ia mengusap air matanya lagi lalu  membuat secangkir kopi untuk Karel dan secangkir teh untuknya.

"Zet," panggil Karel setelah beberapa saat. Azeta pun menoleh ke arahnya.

"Eh, Rel. Kiev udah tidur?" Tanya Zeta. Karel mengangguk lalu duduk di samping Azeta. Menyebabkan getaran menjalari tubuhnya.

"Ya. Aku bacain dia sampe 15 halaman." Adu Karel.

"Wow, biasanya sampe 8 halaman." Ujar Zeta. "Dia suka sama kamu." Katanya.

"Aku Daddynya, Zet." Azeta tak perlu diingatkan. Ia lebih tau dari bahwa Kiev putra Karel.

"Minum dulu, Rel. Kayaknya udah ngga terlalu panas." Azeta menyodorkan secangkir kopi untuk Karel.

"Sebenernya kamu ngga perlu lakuin ini, Rel."

"Balik kesitu lagi, Zet?" Nada Karel terdengar lelah. "Aku juga turut andil... bikin Kiev, kan?" Mungkin Karel tak mengerti bahwa kalimat yang ia lontarkan membuat Azeta merona. "Aku yakin kita bisa bekerja sama dengan baik."

"Yah, semoga aja." Harap Azeta ragu-ragu. Karel manggut-manggut.

"Jadi, dia lahir di Manchester?" Karel mengawali pertanyaan tentang Kiev walaupun ia sudah tau. Ia tulus ingin mengenal putranya lebih dalam.

"Ya."

"Seperti apa dia waktu bayi?" Tanyanya lagi. Azeta menatapnya sejenak lalu ia berdiri dan meninggalkan Karel sebentar untuk mengambil sebuah album foto Kiev dari ia bayi hingga usia saat ini.

"Ini." Ia menyerahkannya pada Karel. Dengan dada berdebar, Karel menerimanya dan mulai membuka album tersebut.

Foto pertama yang ia lihat adalah saat Kiev baru lahir. Ia menyentuhnya dan merabanya. Dengan dada mencelos membayangkan seandainya saja ia ada saat kelahiran putranya itu.

Ia menelan ludahnya, menelan pil pahit yang sempat tersangkut ditenggorokannya.

"Dia mirip kamu pas pertama kali lahir." Ujar Karel. Azeta mengangguk membenarkan.

Karel kembali membukan lembar demi lembar album tersebut. Ia merasa betapa menyenangkannya jika ia selalu ada untuk Kiev. Mengikuti segala perkembangan yang terlewatkan selama delapan tahun ini.

"Umur berapa dia pertama kali bisa ngomong?"

"11 bulan."

"Apa kata pertamanya?" Azeta kesulitan menelan ludahnya.

"Dad," jawabnya lirih. Saat itu ia sedang berada dirumah Aletta kakaknya yang tinggal di Manchester. Lalu Kiev merentangkan kedua tangannya pada Chris, suami Aletta sembari berkata, "Dad, Dad," dan hal itu tentu saja membuat Azeta menangis.

"Dad?" Karel mengulang jawaban Azeta dengan nada pedih. Matanya berkaca-kaca.

"Kapan dia mulai bisa jalan?" Tanyanya lagi.

"11 bulan juga."

Karel melontarkan banyak pertanyaan tentang Kiev. Apapun tentang Kiev. Air mata Karel menetes. Begitu pula Azeta karena rasa bersalah dan juga ingatan akan perjuangannya dulu.

Karel menarik Azeta lebih dekat dan memeluknya. Ia mencium puncak kepala wanita itu dan mengeratkan pelukannya.

"Maafin aku." Ucap Karel. "Maafin aku karena ngga ada buat Kiev selama ini."

****

Hello, welcome back to my story... hehe

Absen yuk yang kangen sama mereka🤚🤚🤚

Komen part ini dan jangan lupa vote yaa😘😘

beautiful accidentWhere stories live. Discover now