28. Penerimaan dan Penolakan

En başından başla
                                    

"Keira itu anak temennya Mama." Jawaban Tama adalah yang paling aman, sementara aku tak sanggup menggerakkan lidah.

Rasanya seperti berkhianat dalam jumlah yang sangat besar kalau sampai aku mengakui Keira sebagai orang lain, padahal jelas-jelas dia adalah calon anak tiriku. Tapi pada mungkin itu tak lagi ada artinya sebab, aku memang sudah berkhianat. Begini sana, aku sudah membohongi Risjad, meski sesungguhnya tidak ada niatku untuk menipu.

"Oh." Reihan mengangguk-angguk paham. "Rei kapan ulang tahun, Pa? Masih lama?"

"Sekitar tiga bulan lagi."

"Wah. Kita rayain ya."

"Oke. Nanti kita beli kue sama lilin."

"Undang temen juga?"

"Mbak Tati sama Pak Radi aja nggak cukup?"

"Mau yang ramai-ramai."

"Sebentar." Tama menahan permintaan putranya. Dia pergi selama beberapa waktu sebelum kembali melemparkan badannya ke ranjang. "Bukan hari sabtu atau minggu, Rei. Papa kerja. Kecuali, mau dimundurin acara ulang tahunmu ke akhir pekannya. Boleh deh, Papa aturin acara ulang tahunmu."

"Kok gitu. Memangnya ulang tahun boleh dimundurin, Ma?"

Kembali aku dilempari pertanyaan. Dengan senang aku menyahut. "Boleh aja. Perayaan itu nggak terlalu penting. Yang paling penting adalah Reihan sehat, Reihan bahagia, dan Reihan nggak kekurangan sesuatu apapun."

Reihan mengulum senyum. "Oke. Dimundurin nggak apa-apa. Aduh. Reihan sudah nggak sabar potong kue bareng Papa sama Mama."

Ya. Reihan yang polos terus berandai dan itu akan terus membuat batinku mengerang. Aku menggigit bibir dan sekali lagi tak bisa menjanjikan apapun. Tiga bulan itu masih lama, dan apapun masih bisa terjadi. Tapi yang pasti adalah dalam waktu itu aku tak akan bersama dua sosok di balik layar ini lagi. Statusku mungkin berubah dan untuk merayakan ulang tahun anak orang lain, aku pasti memerlukan izin dari Risjad. Lantas, mengingat segala masa lalu yang kumikiki bersama Tama, aku tak yakin Risjad akan memberikanku permisi.

Tidak ada satupun dari aku dan Tama yang bisa membalas harapan sederhana seorang Reihan. Kami membiarkan angin membawa asa itu ke langit dan biar saja takdir yang menjalankan sisanya. Obrolan bergeser ke arah lain. Kami saling sahut-sahutan, seolah kami sedang berkumpul di ranjang yang sama dan bukannya terpisah belasan kilometer.

Satu detik Reihan berganti memuji bibirku yang memerah atau malah rambutku yang tak terlalu tebal dan memanjang sehat. Reihan kemudian menghubungkan hal itu dengan keadaan bundanya yang selalu pucat dan bahkan tidak memiliki rambut. Anak ini kritis sekali. Untunglah ada Tama yang siap menjelaskan dengan porsi yang cukup.

"Rei, coba lihat meja makan. Udah selesai belum Mbak Tati nyiapin makanannya?" Tama memberi perintah kecil.

"Oke. Ma. Jangan dimatiin dulu."

"Ya," pendekku. "Saya ganti baju sebentar. Ayah dan Kak Alben mungkin sebentar lagi akan nggedor-nggedor pintu."

"Kalau buru-buru, aku matiin saja kalau gitu."

"Nanti Reihan ngambek?"

"Nggak. Dia akan ngerti."

"Terima kasih bantuannya. Saya beneran diburu waktu."

Tama mengangguk. "Kumatiin ya?"

"Ya silahkan."

Tapi sampai beberapa detik berikutnya, panggilan dari Tama tidak juga mati. Wajah laki-laki itu masih terpampang jelas di layar.

"Apa lagi?"

"Kamu cantik. Aku belum bilang."

"Ah. Sudah banyak yang bilang. Pak Tama nggak harus repot-repot."

RUMPANGHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin