29. Rekonsiliasi

391 44 11
                                    

Gelap...

Tapi New sama sekali tidak merasa ketakutan.

Ia juga tidak tenggelam dalam pekatnya hitam yang ia lihat.

Tapi ia memang sengaja agar secercah cahaya tidak mengambil kesempatan dulu untuk masuk ke bola matanya.

Bukan karena apa-apa, ia hanya masih terpejam dengan permainan pikirannya sendiri yang sudah sedari tadi menyala.

Perasaan yang terlalu aneh untuk dirasakan sepagi ini. Jantungnya ikut serta menyerukannya. Namun, dirinya tidak sesak dalam kesunyian tersebut.

Lelah bersembunyi dalam gulita, New mengintip melalui celah kelopak matanya. Lampu kamar yang temaram menyambut penglihatannya. Begitu tenang, bahkan terkadang ia goyah karena terlena dengan nyamannya tempat tidur hotel.

Ia bisa mendengar suara hembusan nafasnya, termasuk alunan mendengkur dari seseorang yang menemaninya di sini. New menolehkan kepalanya ke kanan dengan sangat perlahan. Kemudian ia beralih memeriksa dirinya sendiri yang ternyata sudah berpakaian dengan benar. Ia kembali pada pria di sebelahnya. Parasnya begitu tenang, menunjukkan suatu rasa lelah yang kini sedang dilepaskan lewat setiap hembusan nafasnya.

Telapak tangan kiri Tay tepat berada di atas dadanya, sedangkan tangan kanannya terangkat dan diletakkan tepat di samping kepalanya. Posisi tidur yang manusiawi. Namun, tidak setiap hari New bisa menonton Tay dalam keadaan tidur.

Entah apa yang merasuki, tiba-tiba sekelebat visualisasi terlintas dalam pikirannya. Cahaya kuning dari lampu pijar yang begitu menusuk korneanya. Hawa panas yang tak bisa ia gambarkan. Lembap, basah, dan sangat lengket. Kurang lebih seperti itulah yang terekam diingatannya.

Sepertinya masih ada yang kurang. Apa itu? New mencoba meraih kembali hak kilas balik miliknya dengan menutup matanya sejenak.

Sampai akhirnya...

Ia melihat...

Bukan.

Ia merasakannya melalui syaraf dari satu titik di anggota tubuhnya.

Tangan yang hangat dan kasar. Mungkin dihiasi beberapa kapalan yang membuatnya semakin jelas terasa. Menggenggam dirinya dengan rasa percaya diri. Memberi sebuah gelitikan dengan gerakan konstan. Naik dan turun...

"Ha...!" New terkesiap dengan mata yang membola. Ia langsung melirik telapak tangan Tay yang masih terkulai lemas bersama pemiliknya. Wajah New semakin kaku, satu tangannya menyelinap ke balik selimut untuk meraba sesuatu yang selama ini hanya disentuh oleh dirinya sendiri. Namun, sepertinya sejak malam kemarin, fakta tersebut sudah terbantahkan.

Rona-rona merah mulai timbul di kedua pipi New. Merekah dan semakin pekat sampai tak mampu dipadamkan. Ia diam-diam mulai menciptakan jarak. Namun, gerakannya malah membuat Tay bereaksi.

"Hmm..." Gumam Tay hanya untuk mengekspresikan kenikmatan alam mimpinya.

New masih mengulum bibirnya. Dengan kedua alis yang ditekuk, New menarik selimutnya sampai ke bagian lehernya.

Mata bertemu dengan mata.

Siapa sangka, Tay langsung menangkap pemandangan seorang New yang juga sedang menatap dirinya. Tay hanya bermuka datar, namun ia sudah bisa meneliti raut yang New tunjukkan kepadanya. Dirundung perasaan yang tidak jelas, Tay memilih memutar tubuhnya dan membelakangi New. Ia ragu apakah ia bisa mengabaikan New dalam keadaan demikian.

Sekarang New hanya bisa melihat punggung Tay yang terbalut baju kaos berwarna merah marun. Ia tidak tahu apa yang dipikirkan Tay. Malu bercampur perih. New bingung dengan reaksinya sendiri. Diacuhkan dalam momen seperti ini ternyata tidak enak juga. Tapi kalau saling menatap, ia bisa meledak.

Balance of FeelingsWhere stories live. Discover now