35. Seorang Kakak

419 43 18
                                    

Gendang telinga hanya bisa menangkap suara ketikan keyboard dari berbagai sudut. Beberapa orang dengan balutan kemeja dan name tag yang terkalung di lehernya terlihat berjalan mondar-mandir menghampiri satu meja lalu ke meja lainnya. Berbagai map di tangan mereka yang berisi dokumen-dokumen penting tidak bisa lepas dari perhatian. Monitor komputer yang menyala dimana-mana seakan menjadi sebuah pertunjukkan biasa yang dinikmati setiap hari. Tak sedikit pemandangan berupa gelas-gelas kopi yang kosong dan kemasan cemilan yang berserakan di atas meja, memberikan kesan bahwa betapa sibuknya setiap orang sampai-sampai mereka tak sempat mengurus hal-hal semacam itu.

Di kala hari yang sulit, satu atau dua pegawai bisa berteriak-teriak hanya untuk berbicara dengan rekan kerja yang lainnya. Telepon yang menjadi alat komunikasi regional mereka terlalu sibuk berdering di sana-sini, dari lantai satu sampai lantai empat sehingga mulut mereka secara alami lebih mudah untuk menyampaikan pesan secara langsung dengan nada yang lebih tinggi.

Bisa dibayangkan bagaimana beban di setiap otak orang-orang yang selalu menampilkan wajah kecut dan kening yang mengkerut. Ditambah lagi pria berkepala plontos yang dikenal sebagai pejabat tertinggi di sini selalu berkeliling untuk memantau serta mengorganisir pekerjaan bawahannya. Semua sontak bertindak panik dan terbirit-birit. Apa seperti inikah dunia kerja? Mungkin secara umum, iya. Tapi itu semua tergantung di bidang apa perusahaan itu bergerak.

Waktu sudah menjelang jam makan siang. New masih sibuk memilah-milah dokumen dengan gerakan seperti siput sawah. Begitu perlahan dan ragu-ragu. Ia terus memeriksa tulisan dari setiap dokumen yang ia temukan, berusaha untuk bekerja sebaik mungkin agar tidak salah dalam membedakan tumpukan map berwarna-warni tersebut.

"Hei, anak magang!"

New terkesiap ketika status dirinya di sini terpanggil. "Iya?"

"Apa kamu bisa membantuku menyalin ini?" pinta pria yang mengenakan kemeja putih dan dasi biru.

"Baiklah." New sesegera mungkin menghampiri meja pegawai tersebut dan menerima setumpukan kertas yang ia sendiri tidah tahu pasti apa isinya.

"Tolong cepat ya..."

New mengangguk mantap, ia lalu berjalan menuju mesin fotocopy. Namun sayang, empat mesin fotocopy yang tersedia di kantor ini semuanya sedang dipakai oleh pegawai lain.

"Maaf kak, apa kakak masih lama memakainya?" tanya New kepada salah satu seniornya.

"Tunggulah, sepertinya ini masih lama."

New lalu mendekati mesin fotocopy lainnya. "Kak, apa sudah selesai?"

Wanita dengan rambut terurai itu langsung membentak New, sepertinya suasana hatinya sedang buruk. "Apa kamu gak lihat?! Dokumenku segini, jelas belum selesailah!" jawabnya seraya menunjuk kardus yang dipenuhi kertas-kertas miliknya.

Intonasi kerasnya sebenarnya membuat New sedikit takut. Tapi apa boleh buat, ia hanya bisa menelannya mentah-mentah. Ia berakhir dengan menggaruk-garuk kepalanya karena bingung. Di tangannya masih memegang kertas yang belum tersalin satu lembar pun.

"Apa kamu sudah selesai fotocopy-nya?" panggil pegawai tadi yang memberi New pekerjaan.

"Be-belum kak. Semua mesinnya masih dipakai," sahut New agak gemetaran.

Pria tersebut langsung duduk sambil menghela napas panjang. Kepalanya menggeleng-geleng saat perhatiannya kembali pada layar komputernya.

New tidak buta. Pria sensitif seperti dirinya pasti memaknai ekspresi dan gestur tubuh semacam itu dengan sangat berlebihan. Karena itulah New sering merasa tertekan selama ia menjalani program PKL-nya di sini, di salah satu kantor konsultan pajak di Kota Denpasar. Entah apa yang terjadi? Ia merasa terjebak di tempat ini. Awalnya ia pikir semua akan berjalan baik-baik saja karena kantor ini nyatanya juga cukup terkenal di mata dosen-dosen di kampus. Tapi ternyata tidak semudah itu, banyak yang masih harus ia pelajari, terutama untuk memperkuat kesehatan mentalnya.

Balance of FeelingsWhere stories live. Discover now