22. Simpul yang Akhirnya Terlihat

489 71 21
                                    

Tidak ada yang memahami apa itu cinta.

Ketika dua orang sepakat untuk menjalin hubungan penuh kasih tersebut, apa segalanya akan berwarna merah muda?

Mungkin iya, tapi sebagiannya lagi tidak.

Mereka bisa saja terjebak dalam situasi yang sebenarnya mereka tidak tahu kemana arahnya.

Atau...

Dalam kata lain, mereka sesungguhnya belum mengerti tentang cinta itu sendiri. Hanya karena mengikuti nafsu dan tuntutan duniawi, mungkin bisa juga karena penyebab yang lainnya, dua anak manusia bisa setuju mengikuti naluri mereka untuk mengarungi lika-liku kisah penuh drama yang belum ditulis naskahnya dengan benar.

Lagipula, siapa yang bisa menulis naskah kehidupan? Siapa yang bisa mengatur itu semua? Selalu ada sebab akibat, semua ada penyebabnya kenapa seseorang bisa menjadi seperti ini atau menjadi seperti itu.

Sepasang kekasih tetaplah dua makhluk yang masih memiliki invidualitas masing-masing. Kata-kata penyatuan hanya sebuah simbolik sebuah ikatan. Namun, keduanya tetap memiliki hati dan pikiran yang bekerja sendiri-sendiri.

Bahkan masih bisa menjadi misteri bagi pasangan masing-masing. Tidak pernah ada yang tahu apa yang disembunyikan di relung hati sang belahan jiwa. Apa terlalu berlebihan menyebutnya sebagai belahan jiwa?

Status 'berpacaran' bisa menjadi topeng atau tirai yang tipis untuk menutupi sebuah alasan. Walau tipis, namun itu bisa memperpanjang hidup seseorang.

Setiap orang yang bergelut di atas panggung semacam ini, mereka masih ada hati yang memiliki lebih dari satu warna. Hanya masalah waktu, kapan mereka akan memutuskan untuk memilih menjadi seperti apa yang mereka inginkan.

.

.

.

.

.

Tay tidur tengkurap di tempat tidurnya. Kedua tangannya menyelip ke bagian bawah bantal, menikmati bagaimana rasa dingin yang berangsur-angsur menjadi hangat juga. Kelopak matanya sama sekali tidak menunjukkan rasa kantuk. Masih terbuka dengan sayunya. Menyiratkan sebuah tatapan yang begitu aneh. Seperti burung hantu yang selalu memperhatikan rembulan. Namun, bukan karena sang burung hantu menyukai bulan, melainkan karena ia takut kalau bola bercahaya putih di langit malam itu akan berganti dengan sang mentari dengan begitu cepatnya.

Kegelisahan menyelimuti hati Tay. Ia terus bolak-balik memutar posisi tidurnya di kasur. Alih-alih merasa kesal karena ulah Apple yang sudah terbongkar, ia justru khawatir dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Ini bukan yang pertama kali, serangkain kejadian seperti ini pernah ia alami sebelumnya. Hanya saja tidak seekstrem apa yang sudah dilakukan Apple padanya dan New. Dalam ruang pikirannya, Tay sama sekali belum punya dialog pembuka untuk meminta kejelasan tentang perbuatan Apple besok. Tay justru lebih banyak menyalahkan dirinya sendiri. Berbagai pertanyaan pun muncul begitu saja. Bersamaan dengan matanya yang sekarang menatap kosong pada langit-langit kamar yang gelap. Hanya seberkas cahaya dari lampu luar rumah yang melintas melalui celah jendela. Keheningan malam membantunya menghakimi dirinya sendiri.

Apa yang aku lakukan selama ini salah?

Tidak bisakah aku menjadi seperti apa yang orang-orang harapkan?

Kalau memang seperti itu, kenapa tidak ada yang bisa menolongku? Kenapa harus aku yang menanggung ini sendirian?

Aku tidak sanggup...

Tay bangun, duduk sembari kedua tangannya memeluk dirinya sendiri. Ia meringkuk seperti menahan hawa dingin malam yang mencekam. Ia menunduk menyembunyikan wajahnya. Hingga setetes cairan bening melintas dan menggantung di ujung dagunya. Tay menggigit kerah baju kaosnya untuk meredam isakannya agar tidak terdengar oleh siapa pun di rumah ini. Kedua orang tuanya sedang tertidur lelap, namun justru terhadap merekalah ia harus menyembunyikan sisi lemah emosinya.

Balance of FeelingsWhere stories live. Discover now