34. Keputusan Akhir

521 47 47
                                    

"Apa kamu sudah selesai mengisi formulirmu?" tanya Tay yang sedang duduk di sebelah New sambil menaikkan satu kakinya.

"Tunggu, sebentar lagi." New memeriksa kembali data yang barusan saja ia tulis di atas kertas miliknya.

Tay yang memperhatikan banyak mahasiswa lalu lalang di depan matanya mulai bosan. Ia menghela napas panjang untuk menunjukkan bagaimana ia sudah lelah menunggu. Keadaaan di lobi jurusan hari ini memang sedang ramai penuh sesak. Mahasiswa-mahasiswa semester akhir sedang sibuk menyerahkan sekaligus mendaftarkan nama perusahaan yang menjadi tempat mereka melakukan praktik kerja lapangan.

Berbagai obrolan mengenai tempat-tempat kerja mulai terdengar dari beberapa perkumpulan. Ada yang mengeluh karena masih bingung mencari tempat PKL, ada yang merasa takut untuk melalui program ini, namun tak sedikit juga yang begitu bersemangat karena tempat PKL mereka begitu terkenal dan bagus.

Pengalaman praktik kerja ini sangatlah penting bagi mahasiswa. Selain untuk mengenal bagaimana dunia kerja, perusahaan yang dipilih bisa menjadi gudang data untuk mendukung proses penyusunan tugas akhir atau skripsi mereka. Tapi bagi Tay sendiri ini bukanlah hal yang harus dirumitkan. Ia bisa duduk santai saat ini karena ayahnya sendiri bekerja di salah satu hotel terkenal di Bali, jadi ia memutuskan untuk langsung memilih tempat kerja ayahnya sebagai tempat PKL.

Untuk New sendiri, jalannya tidak akan semudah itu. Awalnya ia juga masuk dalam kategori mahasiswa-mahasiswa kebingungan. Ia tidak tahu harus menuju perusahaan mana untuk mengajukan permohonan PKL. Di kepalanya selalu dipenuhi banyak pertimbangan, termasuk dalam hal kualitas dan keteguhan hatinya. Namun, karena Tay tahu keadaan New yang demikian, akhirnya ia mengajak New untuk magang bersama di tempat ayahnya. New tentu saja menolak saat itu, karena ia tahu bahwa dirinya sudah masuk dalam daftar hitam keluarga Vihokratana. Tay memang tidak pernah memberitahukan hal tersebut secara langsung, namun untuk seorang New, pernyataan tersebut tidak harus diucapkan dulu. Ia sudah bisa menebak. Semua pasti akan kacau jika ayahnya Tay dan dirinya bertemu dalam satu gedung. Jadi sudah pasti ia menolak keras.

Bukan Tay namanya jika ia tidak bisa membujuk New. Saking tidak maunya berpisah selama tiga bulan, ia berusaha keras merayu New agar mau satu tempat PKL dengannya. Ia sendiri sebenarnya tahu risiko apa yang akan menanti ke depannya. Namun, jika di awal ia sudah menjadi anak yang keras kepala, kenapa tidak sekalian saja jadi anak durhaka? Dalam hatinya ia bertekad akan melindungi New jika suatu hari nanti ada kejadian-kejadian di tempat kerja. Sampai saat ini, ia masih mengira bahwa New tidak tahu apa-apa tentang perselisihan antara dirinya dengan ayahnya. Jadi Tay menarik kesimpulan kalau penolakan New disebabkan oleh keinginan New sendiri yang masih mau mendapatkan perusahaan yang lebih menjanjikan. Sebagai solusi terakhir, Tay menyarankan agar New mengajukan magang dengan posisi yang berbeda dengan dirinya sehingga mereka tidak harus bekerja bersama setiap hari. Tapi setidaknya mereka masih dalam satu lingkungan kan? Benar-benar ide yang brilian. Dan luar biasanya lagi akhirnya New menyetujuinya.

"Sudah selesai belum?" tanya Tay lagi.

"Mmm... Sudah kok."

Tay langsung menyambar formulir New dan memeriksanya sekilas.

"Kamu semangat banget sih? Semangat karena gak sabaran PKL atau karena ada akunya?" tanya New yang sudah tidak heran lagi dengan tingkah Tay yang ada maunya.

Tay cuma tersenyum miring mendengar pertanyaan dari New. Ia lalu mendekatkan wajahnya ke telinga New. "Karena ada kamunya lah baby Newwie..."

New tersenyum tipis untuk menahan senyum lebarnya. Tidak mungkin di tengah keramaian ini ia menampilkan tampang malu-malu karena tersipu. "Udah sana buruan serahin formulir kita ke admin!" perintahnya untuk mengalihkan konsentrasi Tay yang terus saja menatapnya.

Balance of FeelingsWhere stories live. Discover now