08. Sebuah Emosi

626 72 41
                                    

Waktu terus berjalan. Sore yang disambut senja, sekarang sudah berganti tugas dengan sang malam. Di bawah kilauan rembulan, terlihat dua anak manusia yang sedang berjalan santai menuju pagar rumah.

"Orang tuamu baik banget ya," ujar Tay sambil menunggu New yang sedang membuka pagar besi.

New tidak membalas ucapan Tay yang sebenarnya bisa saja dianggap sebagai pujian. "Pulanglah, sudah malam."

Tay mendengus setelah New memberikan isyarat tangan untuk memintanya segera keluar. "Apa kamu mengusirku?"

"Pulanglah Tay, kamu juga punya rumah sendiri."

"Jahat banget," keluh Tay.

New berdecak, "Setelah diajak makan malam bersama keluargaku, apa kamu masih bisa bilang aku jahat?"

"Itu orang tuamu, belum tentu kamu sebaik itu."

"Tay!" New tak suka dengan ocehan Tay yang mulai tidak jelas. Mau pulang saja masih bisa merepotkan. New akhirnya mendorong paksa Tay agar segera keluar dari wilayah halaman rumahnya.

"Neww... Biarkan aku di sini lebih lama lagi... Bagaimana kalau kita bermain di kamarmu?" pinta Tay.

"Enggak! Besok kita juga ketemu di kampus." New berhasil mendorong Tay keluar pagar. Tapi sepertinya Tay benar-benar keras kepala.

"Neww... Kamu gak kangen sama aku? Kenapa cepat-cepat banget sih ngusir aku?" Tay masih saja memasang wajah cemberutnya. Pintu pagar rumah New yang hanya setinggi leher mereka bukanlah sebuah penghalang yang berarti.

"Buat apa aku kangen? Sudahlah Tay, pulang sana! Kaya gelandangan gak punya rumah aja kamu!"

"Jadi, kalau misal aku gak punya rumah, apa kamu akan mengajakku menginap dan tidur bersama di kamarmu?" Tay memasukkan kedua lengannya ke celah pagar dan menarik pinggang New sehingga mereka sekarang saling berhimpitan. Hanya batang-batang besi pagar berwarna abu yang memberi sekat di antara mereka.

New tak bisa menahan semburat merah di pipinya akibat ulah Tay. Apalagi wajah mereka sekarang saling berdekatan. "Apa-apaan sih Tay? Gak usah bertingkah deh! Nanti ada tetangga yang lihat..."

"Malu ya?" goda Tay.

New berdeham, "Kamu bisa datang ke kosku kapan pun kamu mau. Terus untuk apa kamu mau menginap di rumahku?"

Tay menimang-nimang perkataan New. "Mmm... Benar juga. Kalau begitu ya sudahlah." Tay langsung melepaskan tangannya di pinggang New. "Kalau gitu aku pulang ya. Good night beb..." Sebelum berjalan menuju mobilnya, Tay mengacak gemas rambut New.

New hanya memperhatikan Tay yang hendak membuka pintu mobilnya. "Tay?"

"Iya?"

"Berhati-hatilah mengemudi..."

Tay mengeluarkan senyum jahil. "Khawatir ya?"

New memutar bola matanya. "Cepat pulang atau kutendang kau!"

Tay tak mau main-main lagi. Suara mobilnya sudah menderu, menjauh meninggalkan perumahan daerah tempat tinggal New. Setelah semua terasa sepi, New berjalan kembali ke dalam rumah dengan senyum tipis yang sedari tadi ia tahan-tahan.

.

.

.

Sesampai di kamar, New terduduk di meja belajarnya. Ia termenung. Memikirkan apa yang terjadi belakangan ini mungkin memang tak bisa ia hindari. Adakah sebuah makna dari semua ini? Apakah ada pelajaran yang bisa ia ambil? Atau apa terjadi sebuah kemajuan? Kemajuan apa? New tergelak, menertawakan dirinya sendiri yang tampak sepeti badut. Konyol dan seakan tidak mau tahu betapa naifnya dirinya.

Balance of FeelingsWhere stories live. Discover now