23. Nyata Yang Terkuak

Start from the beginning
                                    

Alih-alih setuju bocah itu malah mengusap dagu seolah orang dewasa yang sedang berpikir keras. "Rei makin penasaran. Bunda nggak pernah nyalon. Mama kalau nyalon kayak apa ya? Ikut dong, Ma. Ikut. Nggak apa-apa kalau Rei cowok sendiri. Rei nggak malu."

Punggungku langsung terempas mundur ke kursi. "Langsung balik, Pak. Saya mau tidur sampai sore saja," kataku pada akhirnya.

"Siap, Bu."

"Yah. Kita nggak jadi nyalon, Ma?"

Pak Radi tertawa melihat aku pasrah tanpa bisa banyak melawan anak kecil dengan segudang rasa penasaran itu.

●●●●
 


"Bu, mau rujak nggak, Bu?"

Aku sedang mengisi perut dengan nasi, ayam goreng lengkuas, lengkap dengan cah tauge  yang sedikit pedas, ketika tawaran itu menyerobot masuk ke telinga. Dengan cuaca sepanas sekarang, rujak pasti akan sangat nikmat. Pedas, manis. Tapi tunggu, apa dulu buahnya?

"Tadi saya nemu mangga muda di pasar, Bu. Kebetulan kok jadi ingat masa di kampung dulu. Kalau ngumpul sama temen, ya, rujak yang dirubung. Tapi kalau misal Bu Mira nggak suka makanan—"

"Suka kok," potongku cepat, karena tak mau kehilangan kesempatan menyantap sesuatu yang tidak setiap hari ada di depan mata. "Sambil bikin es jeruk, ya. Pasti seger banget tuh, Ti."

Tati mengangguk senang. "Kita makan di bawah pohon kelengkeng ya, Bu. Ala-ala piknik gitu."

Aku membuat bundaran kecil dari ibu jari dan telunjuk, setuju dengan ide cemerlang asisten Tama ini. Tati segera angkat kaki dengan penuh semangatnya ke dapur sementara aku menyelesaikan makananku yang tersisa. Si ekor bernama Reihan masih di masjid bersama Pak Radi. Mungkin sebentar lagi akan pulang, lalu kembali menjajah sebagian dari waktuku yang sangat berharga.

Gara-gara anak itu, ide memanjakan diriku memang lebih baik untuk dibatalkan. Tidak mungkin sekali aku membawa bocah sebesar itu ke tempat langganan, yang mana mereka tahu benar siapa aku. Bisa gonjang-ganjing dan mencuat puluhan gosip kalau sampai ada yang mendengar aku dipanggil mama oleh anak sebesar Reihan, padahal tidak sedikit yang tahu bahwa aku cerai tanpa anak empat tahun sebelumnya.

Daripada mengambil risiko, akan lebih baik untuk menjaga kondisi tetap aman. Soal creambath dan segala tetek bengek peremajaan kulit, bisa kulakukan besok setelah meminta bantuan Tama untuk setidaknya memberiku waktu me time tanpa harus dibuntuti oleh anaknya. Sekarang yang paling darurat adalah merapikan kuku. Beberapa di antara kesayanganku sudah memanjang saking berhari-hari tidak kuperhatikan.

Untungnya aku pernah melihat pemotong kuku di salah satu laci di kamar Tama. Kubawa benda logam itu ke tempat di mana Tati menjanjikan piknik kecil yang dadakan. Dan siapa yang mengira bahwa Tati begitu totalitas dengan idenya itu. Jadi selain menggelar satu tikar dia juga menyediakan dua bantal yang cocok dipakai untuk rebahan. Terbayang sudah bagaimana nyamannya tiduran tepat di bawah pepohonan semacam ini.

Maka tanpa pikir panjang, aku segera melaksanakan angan-angan dalam otakku sendiri. Badanku sudah rebah. Langit yang biru bersatu padu dengan hijaunya daun dan kekuningan kelengkeng, masuk ke mataku. Sejenak, aku memejam dan membaui aroma manis nan harum ini. Setelah merasa paru-paruku dimanjakan, aku membuka mata lalu kembali teringat pada alasan kenapa aku menggenggam pemotong kuku. Satu per satu, kukurangi jumlah ketinggian mereka.

"Bu Mira, rujaknya sudah siap."

Tati datang dengan satu baki besar. Diturunkannya benda itu ke tikar dan apa saja yang ada di atasnya sukses membuat produksi liurku meningkat. Sambal gulanya masih berada di atas cobek batu. Buah mangga, belimbing, dan jambu air berwarna merah menyala, diiris dengan potongan yang rapih. Dan tentu saja, ada satu pitcher es jeruk yang spesial kuminta.

RUMPANGWhere stories live. Discover now