Canistopia - XXIV

Mulai dari awal
                                    

Jari-jarinya mengikuti alur ukiran di pintu lemari berwarna hitam elegan yang kini tertutup. Tampaknya bunga rose. Mungkin rose memang lambang dari sekolah ini? Mungkin.

Di sisi lainnya ia menyadari ada satu pintu. Bukan, bukan pintu tempat di mana ia masuk dan ke luar. Sepertinya kamar mandi? Ia harus memeriksa itu.

Sesuai dugaannya kalau di balik pintu tersebut terdapat kamar mandi yang luas.  Bathtub besar, pintu kaca untuk shower, toilet dan semacamnya. Ah, tidak lupa dengan peralatan mandi yang lengkap.

"Luar biasa," gumam Damien. Ia melangkahkan kakinya lebih dalam. Menggapai kran air dan memutarnya membiarkan air hangat memenuhi bathtub. Sepertinya cukup menyenangkan kalau ia berendam sebelum benar-benar beristirahat. Ah, tidur tepatnya sebelum besok ia memulai harinya dengan penuh pertanyaan lagi.

🐾

Pagi sekali, pintu kamar Damien sudah diketuk. Di sana Sean, berdiri seraya tersenyum lebar dengan tangan kanan diangkat untuk menyapanya. Ia sudah rapi, mengenakan jas marun dengan garis putih di pinggirannya. Sepatu tali berwarna putih, celana kain dengan rompi rajut berwarna hitam. Ah, tidak lupa dasi senada membuatnya tampak lebih rapi dua kali lipat. Hanya saja, kancing teratas kemeja dibukanya. Wajar saja, mungkin sesak.

"Sudah siap?" tanya Sean.

"Aku sedang bersiap. Baru saja ingin merapikan rambut." Damien menunjuk kepalanya. Sean memperhatikan sekilas kemudian tertawa karena rambut Damien yang mencuat tak beraturan. "Mau menunggu di dalam?"

"Oh, tentu." Sean mengangguk. "Kalau diizinkan."

Damien mengedik seraya menyingkir dari ambang pintu. "Masuklah."

"Kau tahu, kan? Canistopia bisa dijangkau dari negara mana pun, kau akan bertemu dengan bermacam-macam orang dari tempat yang berbeda. Tidak perlu khawatirkan bahasa, kita semua yang tinggal di sini terlalu jenius untuk itu."

Damien mengernyit. "Maksudmu, semua negara memiliki portalnya masing-masing?"

"Benar." Sean mengangguk.

"Bahasa ... soal itu aku tidak mengerti. Apa maksudmu?"

"Ya, kita tidak akan terhalang oleh bahasa. Kita terlalu jenius, sudah kubilang barusan."

Damien memutar matanya tak percaya seolah perkataan orang di hadapannya ini hanyalah bualan.

"Aku serius," lanjut Sean. Jangan lupakan ia yang bisa membaca pikiran orang-orang.

"Kau sendiri tahu kalau kemampuanku belum muncul seperti kalian. Maksudku ... ah, entah apa sebutannya."

Sean menghela napasnya dalam-dalam. "Kau pasti sadar kalau kematian ayah angkatmu itu tidak biasa. Maksudku, bukankah janggal?"

"Apa maksudmu? Kenapa kau tiba-tiba membahasnya?" tanya Damien yang kini duduk di kursi depan cermin.

"Sudahlah. Tidak sekarang, Damien." Sean tersenyum tipis. "Ayo cepat sebelum kita terlambat. Aku sengaja menjemputmu agar kau tak tersesat, yang lainnya sudah pergi lebih dulu."

"Oh, benarkah?" Damien kembali berkaca dan merapikan penampilannya dengan buru-buru.

Sean terkekeh kecil memperhatikan dari tempatnya duduk sejak tadi. Baginya, sikap Damien selalu terlihat gemas. Oh, kalau Mike dan Fred tahu mungkin mereka akan menggerutu.

"Ayo, Kak!" ajak Damien. Sean mengangguk seraya pergi ke luar. Sesekali ia menoleh pada orang yang ditungguinya yang kini membuntuti di belakang. "Upacara penyambutan akan dimulai pukul berapa?" tanya Damien.

CanistopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang