18. Cerita Soal Kain

Start from the beginning
                                    

"Rei marah sama Ibu karena lancang pakai kaos ini?"

Anak itu menggeleng, menatapku dengan mata beningnya. "Rei malah seneng. Akhirnya kaos yang dikasih Bunda bisa kepake."

Lidahku mendadak kaku. Ucapan Reihan mengingatkanku pada sikapku sendiri yang  dulu memperlakukan Kirana bahkan Reihan selayaknya virus berbahaya yang patut dihindari. Aku tak mengira, bahwa Tama bisa juga tega berlaku abai pada sahabat—atau katakanlah cinta pertamanya itu. 
 
Sejak awal, dia memang berjanji bahwa pernikahannya dengan Kirana tak akan pernah serupa dengan rumah tangganya denganku. Hanya saja, aku tak mengira dia akan seserius ini membedakan sikapnya.
Tanganku jatuh di atas rambut Reihan. Anak itu mendongak dan kuberikan senyum kecil. "Kalau memang Papa nggak mau pakai ini, biar Ibu aja yang pakai. Boleh?"

Reihan mengangguk. Matanya berkaca-kaca.
Senyumku kian melebar. "Gimana kalau kamu ganti kaos begini juga? Kita kasih lihat ke Papa, biar dia ngiler karena nggak couple sendiri. Setuju?"

Bukannya menyahut atau mengangguk, anak itu malah bangkit dari duduknya dan menubruk badanku dengan pelukan. Aku terkekeh pelan sambil mengusap-usap punggungnya.

"Rei sayang Mama. Baru sebentar, tapi Rei sudah sayang banget sama Mama."

Mendengarnya perasaanku jadi kelabu sendiri.

●●●●●
 
D

ibantu Tati, aku membereskan pakaian-pakaian kekecilan itu dan memasukkannya ke dalam beberapa kardus. Langsung saja kuhibahkan pada perempuan seusiaku yang sudah bekerja pada Tama sejak aku hengkang empat tahun lalu itu. Kata Tati, sebagian akan dia kirim ke kampung. Adik-adiknya pasti senang mendapatkan semua pakaian ini. Karena meskipun bekas, Tati jelas tahu bahwa aku tak sembarangan membeli pakaian, semua itu mahal dan berkelas. Yang Tati tidak tahu adalah aku selalu diomeli oleh ibu mertuaku tiap kali aku pulang dan membawa kantong belanjaan. Menurutnya, aku cuma bisa menghabiskan uang anaknya tanpa tahu cara menyenangkan suami.

Untungnya, laki-laki yang sekarang baru tiba di rumah itu sama sekali tidak protes sebanyak apapun baju yang kubeli. Hanya saja, dia punya batasan. Bukan perkara jumlah, melainkan adalah model. Sesuatu yang memperlihatkan belahan dada dan bahu jelas dilarang. Pernah aku nekat membeli gaun yang lumayan terbuka tanpa lebih dulu menunjukkan kepadanya dan ujung dari itu, gaun itu berakhir digunting-gunting tepat di depan mukaku. Aku sakit hati sekali, menangis sesenggukan, dan bahkan kabur ke rumah ayah. Ujung dari semuanya adalah Tama bermaksud menjemput dan malah dihadiahi bogem kuat.

"Hore, Papa pulang!" Reihan berseru. Dia turun dari sofa dan melompat ke pelukan papanya. "Papa bohong nih. Katanya mau pulang sore. Ini sudah malam."

"Maaf, boy. Kerjaan Papa banyak. Kalian belum makan?" tanya Tama yang dibalas gelengan oleh Reihan. Laki-laki yang sudah kelihatan kusut itu kemudian melirikku.  "Harusnya makan duluan nggak apa. Terus, ngapain kamu pakai kaos itu?"

Kaos berwarna merah maroon ini memang punya cerita sensitif. Aku benar-benar menyesal sudah memakainya.

"Saya kehabisan baju, Pak. Saya pinjam hari ini saja."

"Rei juga pakai couplenya, Pa. Lihat. Lihat." Reihan menambahi.

Tama menoleh dan mengubit kecil pipi anaknya. "Nah, iya. Kenapa juga kamu ikut-ikutan pakai. Padahal ini sudah kekecilan."

Diam-diam, aku memperhatikan saksama ekpresi yang Tama keluarkan. Rasanya, tidak ada perubahan berarti di wajah itu. Dia tidak tampak marah, meskipun aku dan Reihan kompak memakai kaos yang katanya selalu dia 'tolak'.

"Kata Mama biar couple. Kata Mama biar Papa ngiler karena nggak couple sendiri."

Tanpa kuduga-duga, Tama tertawa. "Papa beneran ngiler sekarang. Gimana kalau kita beli yang baru. Kita couple bertiga. Gimana?"

RUMPANGWhere stories live. Discover now