Mengantar buket sampai tujuan sesungguhnya hanya sedikit yang bisa dia lakukan untuk Mbak Drina.

Arun berpura-pura muntah saat berjalan menuju tangga. "Nonton Netflix aja, lah."

Mbak Drina dan Mas Kal tergelak. "Kenapa di atas? Di sini juga bisa," goda Mbak Drina.

Diulanginya suara muntah tadi. Tawa mereka berdua makin lantang mengiringinya ke lantai dua.

 Tawa mereka berdua makin lantang mengiringinya ke lantai dua

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Saya minta nomor HP kamu."

Usai malam kemarin mencari tahu soal Gang Dua Belas, Arun menimbang-nimbang apa dia akan membutuhkan kontak Orlin sampai chat dari Haris masuk. Gelandang tim kelas mereka itu mengabarkan hanya bisa ikut satu pertandingan di hari Jumat karena remedial. Kelabunya langit seakan menyerupai perasaan Arun yang kurang bersemangat, walau di sisi lain dia bersyukur cuacanya melunak. Semoga saja tak sampai hujan.

Orlin berhenti memakai helmnya. "Kenapa?"

"Besok kayaknya saya bakal telat. Ada dua pertandingan," terang Arun.

"Kamu nggak yakin hari ini kita bakal berhasil? Memangnya besok kita masih cari alamatnya?"

Konyol. Mengapa tak terpikirkan? Apa Arun sepesimis itu? Dia menepuk keningnya sendiri sebagai 'hukuman', yang ditanggapi Orlin dengan tawa cepatnya itu.

"Santai. Bukan berarti saya nggak mau kasih, kok. Boleh pinjam HP-nya?"

Orlin mengetikkan nomor ponselnya dan menelepon sampai nomor Arun masuk di gawainya. Dia menamai kontaknya 'Orlin' tanpa embel-embel apa pun. Baiklah. Sembari memasukkan ponselnya lagi ke saku, Arun sedikit—sedikit—penasaran nama apa yang Orlin tulis untuk kontaknya.

"ArunDeBruyne17," eja Orlin.

Arun nyaris terjungkal. "Kamu stalking saya?! Itu username tiga tahun lalu!"

Cengiran Orlin lebar, gigi-giginya rapat. "Kemarin malam, saya juga mikir gimana caranya ngehubungin kamu. Akhirnya saya ketemu URL Facebook itu. Tapi nggak saya add karena saya nggak punya akun Facebook." Orlin lanjut memasang helmnya. "Yuk!"

"Kenapa kamu mau ngehubungin saya?"

"Karena, jujur aja, saya juga nggak yakin Gang Dua Belas ini alamat yang tepat. Tapi nggak ada salahnya dicoba. Sekalian jalan-jalan. Bukannya di sana banyak tempat kulineran, ya?"

"Berapa persen?"

Orlin merenung. "Tiga puluh empat. Tapi kalau habis itu bisa jajan ramen, worth it, lah."

Sepertinya jalan pikiran Orlin dan cara otaknya bekerja lebih rumit dari pencarian alamat ini.

Gang Dua Belas pernah beberapa kali masuk televisi. Meski namanya gang, jalan beraspal yang membagi kedai-kedai itu bisa dilewati satu mobil dan satu motor bersisian. Maraknya food vlogger menambah slogan, tanda tangan, serta foto di tempat yang pernah mereka sambangi. Berlokasi di seberang gedung kampus perguruan tinggi negeri, mahasiswa tak perlu bingung—atau justru kebingungan—karena beragamnya menu yang ditawarkan. Ketoprak dan bubur ayam untuk sarapan, soto dan olahan daging untuk makan siang, makanan Asia atau mi instan dan roti bakar untuk mengerjakan tugas, kencan, dan kumpul organisasi di malam hari.

MemoriografiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang