Saya menelan ludah. Wastra benar juga. Jika disambungkan dengan mantan-mantan saya sebelumnya, Meta nggak ada apa-apanya. Ya, dulu saya selalu berpikir jika satu-satunya hal yang bisa dinikmati dari perempuan adalah tubuhnya. Saya nggak bisa pacaran sama mereka kalau nggak dapat untung. Tapi Meta? Saya juga heran. Entah kenapa, karakternya yang beda dari cewek lain membuat saya begitu tertarik sama dia.

"Namanya Meta. Dia salah satu influencer di Instagram."

Mendengar ucapan itu, teman-teman saya mendadak diam.

"Saya tertarik sama dia sejak saya follow dia. Sekitar dua tahun lalu. Eh, dua minggu lalu, dia ngekos di kosan milik Mama. Kebetulan bukan sih? Tuhan itu baik banget. Tiba-tiba dia deketin saya dengan seseorang yang kayaknya mustahil buat dideketin."

"Udah kenalan?" Pandu menatap tajam.

"Bukan kenalan lagi. Dua minggu ini, saya pepet dia terus. Dua minggu ini saya lebih bugar gara-gara sering jogging bareng dia. Maneh nyaho, Du? Saya bahkan nyari-nyari materi di Internet soal Bandung supaya punya bahan obrolan. Soalnya, dia agak beda. Dia bukan tipe cewek yang suka basa-basi. Dia agak susah diajak masuk ke obrolan ringan."

"Udah ditembak?"

Pertanyaan Abar membuat saya melotot. "Mikir atuh! Baru dua minggu saya kenal dia. Masa udah nembak sih?"

"Lha, bukannya yang dulu-dulu juga gitu?" Kedua alis Wastra terangkat. "Baru kenal udah jadian."

"Mmmmm ..." Pikiran saya melayang ke beberapa momen di masa lalu. "Benar juga sih. Tapi percaya deh, Meta ini beda. Pendekatan sama dia itu udah kayak pendekatan antara kutub selatan dan kutub utara."

"Lebay!" Pandu berdiri. "Udah-udah! Latihan lagi. Entar malem kita live musik lagi di café baru. Kalau penampilan kamu buruk, mau nggak dipanggil lagi?"

Saya berdiri. "Iya Bapak Pandu yang terhormat. Ayo ....."

Kami semua berdiri. Berniat untuk kembali ke posisi masing-masing. Namun saat aku bergerak untuk menaikkan mikrofon, tiba-tiba ponsel saya berdering. Otomatis, saya berhenti dari aktivitas dan menyabut ponsel dari saku celana.

Kamu tahu siapa yang nelepon, 'kan?

Benar! Itu Meta. Saya sendiri langsung syok. Nggak biasanya dia ngehubungin saya sore-sore begini. Biasanya, saya akan mengobrol malam hari sama dia. Itu juga saya duluan yang mancing. Nah ini?

"Bentar-bentar. Meta nelepon!"

"Dasar bucin!" Wastra berteriak jengkel.

Saya tidak menghiraukan ucapan Wastra. Saya lebih memilih memojok, lantas kembali melihat layar ponsel.

Kenapa saya jadi deg-degan begini?

"Hallo ...."

Seperti biasa, saya menjawab dengan nada tenang. Seorang Gaya nggak mungkin menunjukkan kegugupannya.

"Kamu di mana, Gay?"

"Gaya!"

"Iya, Gaya, maaf." Suara Meta terdengar menggemaskan. "Kamu di mana?"

"Saya di studio musik. Lagi latihan."

"Sibuk ya berarti?" tanyanya lagi.

"Kamu maunya saya sibuk atau enggak?" goda saya.

"Ya ... maunya kamu nggak sibuk. Aku lagi pengen jalan-jalan nih. Tapi kalau kamu sibuk, ya nggak apa-apa. Aku bisa jalan sendirian."

Mendengar ucapan itu, jelas saya langsung girang. Sejak kapan Meta dengan sukarela mengajak saya untuk jalan? Biasanya saya sendiri yang deketin kalau dia mau ke mana-mana. Biasanya, saya sendiri yang ngemis-ngemis ke dia buat jadi bodyguard-nya. Sepertinya pendekatan yang saya lakuin ke dia mulai ada titik terang.

"Sibuk?" Meta kembali bersuara.

"Eh ...." Saya buru-buru menggeleng. "Nggak ada yang nggak mungkin buat kamu. Saya bisa temenin kok. Lagian, bentar lagi latihannya selesai. Jadi teman-teman saya juga nggak bakal keberatan kalau saya pergi."

"Yakin?"

"Iya!" Saya terkekeh. "Sejarah beberapa tempat di Bandung saja saya hafalin demi bisa ngobrol sama kamu. Masa nemenin doang kayak gini nggak bisa?"

"Gombal terus!" Meta terkekeh.

"Ya udah, saya ke kosan ya sekarang. Tunggu 15 menit."

"Oke Gay." Meta menutup telepon dengan nada riang.

Saya buru-buru berlari ke arah teman-teman. Mengambil jaket, mengenakannya, juga menarik tas kecil. "Saya pergi ya ...."

"Becanda?" Pandu melotot. "Kita belum setengah jam latihan lho. Tadi baru pemanasan."

"Sorry. Saya harus nganter Meta. Soal kerjaan, saya yakin kalau saya bisa. Nanti kamu kirim aja list lagu buat entar malem ya, Du. Saya bakal latihan di rumah."

"Gila emang. Gilaaaa!" teriakkan Abar menggelegar. "Kalau udah bucin, kamu emang nggak ada obat."

Saya memilih pergi tanpa mendengarkan ocehan mereka. Sudah biasa. Mereka bisa diatur dengan gampang. Nah Meta, ini kesempatan pertama bagi saya karena dia ngajak secara langsung. Masa mau nolak? Bodoh kalau saya nolak peluang.

***

Jadi ceritanya, Meta mulai nyaman nih? Hehehehe. Girang banget si Gaya.

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Where stories live. Discover now