Chapter 12

11.8K 2.3K 113
                                    

Untuk kesekian kalinya Sachi terbangun dengan air mata yang mengalir. Bahkan kaos yang dikenakannya sampai basah oleh keringat. Dengan kepala yang sedikit pening Sachi mematikan alarm di ponselnya. Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari dan waktunya mengulangi rutinitas tanpa ujung.

Setelah merapikan kembali tempat tidurnya, Sachi segera turun menuju dapur. Mengeluarkan adonan yang telah didinginkan semalam. Ia mencuci tangannya agar bersih kemudian menaburkan tepung pada konter dapur. Hanya ditemani deru mesin, nyanyian kegiatannya hingga suara beberapa kendaraan yang melewati toko jarang-jarang, Sachi mulai membungkus roti satu per satu.

Di sela istirahatnya Sachi kembali melamun tentang mimpinya. Terkadang dia bingung tentang konsep bunga tidur itu. Rasanya mimpi-mimpinya tak pernah menunjukkan sisi bahagia. Dan lebih anehnya dia tidak pernah mengenali orang-orang di dalamnya. Mimpi-mimpi aneh itu seperti datang dari dunia yang jauh berbeda dengan hidupnya saat ini.

Sachi terus berkerja terutama ketika jam pagi saat beberapa orang kantoran atau mahasiswa kelas pagi yang belum sempat sarapan membeli roti di tokonya untuk mengganjal perut mereka. Saat sudah mulai lengang ia membuka laptop barunya untuk belajar lebih lanjut mengoperasikan neraca.

Hingga pintu toko kembali berdenting tanda konsumen baru datang. Ternyata bukan. Arga datang dengan jaket cokelat dan tas selempangnya. "Hai!" Sapa Sachi.

Gadis itu balas menyapa Arga dan mempersilahkan pemuda itu untuk duduk.

"Baru selesai kelas?" tanya Sachi.

"Iya," jawab Arga singkat.

Sachi mengambil celemek merah marun untuk dikenakan Arga. Pemuda itu mulai berjalan menuju kasir dan Sachi dengan senang hati gadis itu menunjukkan beberapa hal terutama cara mengoperasikan meja kasir yang tidak disokong teknologi terbaru sehingga untuk beberapa hal perlu dilakukan secara manual. Salah satunya dengan memasukkan harga dan kuantitas tanpa alat pemindai.

Sachi berdiri beberapa kali di samping Arga saat pemuda itu menerima pelanggan dengan tekun. Dengan adanya Arga, Sachi bisa lebih santai dari hari biasanya. Ini pertama kalinya setelah beberapa waktu Sachi bisa tidur siang sedangkan Arga menyapu kembali lantai toko sembari merapikan beberapa meja yang ditinggal kotor oleh pelanggan.

Mata Sachi langsung terbuka saat mendengarkan suara terbentur dari bawah mejanya. Wajah Arga muncul dengan sangat merah.

"Ada apa, Ga?"

Arga menunjukkan remahan roti di tangannya. "Kepalaku sedikit terbentur waktu ngambil ini."

"Astaga, kamu ini ada-ada saja. Duduk sini."

Sachi bangkit dari duduknya dan memaksa Arga untuk duduk di kursi yang ditempatinya tidur. Ia mengambil dua kubus es kecil yang dibungkus kain. "Ini, kompres ini di kepalamu biar nggak benjol."

"Terima kasih."

Sachi duduk memperhatikan Arga yang duduk diam.

"Eum, Arga, Boleh tanya? Sebenarnya alasan kamu untuk kerja di sini apa?"

Arga tersenyum sekilas, "Kenapa nggak ditanyakan waktu wawancara dulu?"

"Ah, enggak apa-apa, baru kepikiran saja. Soalnya wawancara itu juga cuma buat sekadar tahu aja. Mau ada wawancara atau enggak, kamu bakal aku terima, kok. Karena memang aku butuh bantuan tangan banget," jelas Sachi.

"Aku kan anak rantauan dari Semarang. Erm, kondisi keluargaku juga kurang mampu."

Arga menjelaskan kondisi keluarganya yang tidak mampu menguliahkannya. Dia sedikit terbantu dengan beasiswa. Untuk tempat tinggal sendiri ia tengah menumpang di rumah temannya yang baru ditinggal keluarganya. Mungkin baru kembali sekitar tiga bulan lagi. Lagi pula dia adalah anak filsafat yang sering dipandang sebelah mata. Jadi untuk mencari pekerjaan sampingan agak susah. Dan kebanyakan temannya berkutat menjadi barista ataupun pelayan di restoran.

MAHAJANA (Spin Off MADA)Where stories live. Discover now