15. Hal Tidak Menyenangkan Ternyata Menyukaiku

133 56 14
                                    

Situasi asing ini telah membuatku pusing semalaman, mengalahkan rumus Stoikiometri dan sejenisnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Situasi asing ini telah membuatku pusing semalaman, mengalahkan rumus Stoikiometri dan sejenisnya. Aku berusaha menghubungi kedua temanku dengan harapan masalah bisa terselesaikan. Namun, hasilnya nol besar. Lebih hilang lagi harapanku saat mendapati Azul keluar dari pesan grup.

Di sekolah malah lebih buruk lagi. Kerenggangan hubungan Alif dan Azul disadari teman sekelas. Maliqa yang masih membenciku, menyimpulkan bahwa akulah yang menjadi penyebabnya. Dia tidak salah. Aku memang yang menyebabkan munculnya pembatas di antara kedua temanku, hingga keinginan kuat untuk menyambung kembali hubungan mereka memenuhi diriku. Farrell dan Farhan bersedia membantu dengan membuat obrolan melingkar. Namun, Azul keluar dari lingkaran dan lebih memilih bermain gim ponsel di pojok kelas.

Saat jam istirahat, aku berusaha menarik lengan Azul, tetapi dia dengan cepat menghindar dan pergi sendirian. Tercetus dalam kepalaku untuk meminta bantuan yang lainnya. Alih-alih mendapat hasil memuaskan, justru situasinya lebih buruk dari yang dikira. Alif berkata kasar, lalu pergi entah ke mana sampai melewatkan satu mata pelajaran.
Selain mudah mengontrol emosi, ternyata Alif pandai mengotori mulutnya.

“Tidak tertolong.” Farrell sama sekali tidak membantu dengan kata-katanya. Dia membuatku semakin menilai buruk diri sendiri.

“Coba kamu pura-pura sakit. Mereka panik. Dan kemungkinan besar hubungan mereka tersambung lagi.” Ide Farhan adalah yang terburuk dari yang terburuk. Berbohong bukan cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah.

Kepusinganku bertahan selama beberapa hari. Lelah hati mendapati kedua temanku melengos satu sama lain. Seolah masalah Alif dan Azul bukanlah beban yang menggoyangkan kepalaku, mama memberiku kabar bahwa kondisi nenek memburuk.

Seminggu lagi menjelang ulangan, konsentrasiku tidak bisa berfokus pada statusku. Nenek terbaring lemah tanpa bisa menggerakkan tangannya barang untuk mengusap wajah kusut cucunya, dan aku tahu mama diam-diam menangis di sudut musala.

Tante Wina datang dengan sekonyong-konyong membuat heboh rumah sakit. Tas bermerknya menampar wajahku tepat saat ia berbalik lalu menyadari keberadaanku. Tanganku berusaha ditarik olehnya, ingin berbicara, tetapi aku dengan gesit berlari sampai ditegur perawat yang berpapasan denganku.

Kacau. Masalahku terus datang seolah-olah badanku ini magnet. Tepat saat di persimpangan, aku menabrak seseorang. Cowok, yang selama ini kuhindari. Aku ingin bersujud, berpura-pura menjadi orang gila saat itu juga. Sepupuku yang genit ini justru nyengir padahal aku ingin menangis keras.

“Lama nggak ketemu, kok, nangis.”
Aku tidak menangis, aku hanya ingin ... menangis dan kabur.

“Maaf, Anda ini siapa?” Aku dengan tololnya melontarkan pertanyaan sampai Alfie terkekeh sembari menjulurkan tangannya untuk mengelus kepalaku. Namun, sebelum itu, aku menghindar dan hendak pergi, tetapi Alfie lebih gesit dariku.

Incandescent #1Where stories live. Discover now