12. Aku Mendengar Hal yang Bagus

155 58 3
                                    

UTS sudah selesai

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

UTS sudah selesai. Satu hari setelahnya, kelas menjadi heboh lantaran mereka akhirnya terbebas dari kebakaran otak.

Setelah hari itu, perubahan yang signifikan terjadi padaku. Janti sudah mengobrol bersama teman-temannya seperti biasa, yang membedakannya adalah obrolan mereka tidak mengarah pada perisakan. Sementara itu, Maliqa beserta ketiga temannya memisahkan diri, tidak berani menatapku sengit seperti biasa sebab sensitivitas Alif meningkat. Aku juga kedatangan banyak cewek sekelas, bahkan kelas lain dan mendapat permintaan maaf dari mereka.

Kendati demikian, telinga ini masih saja mendengar bisik-bisik tidak mengenakkan tentangku dari mereka yang memiliki kebencian teramat besar seperti Maliqa. Menurut mereka, aku menggunakan hal tidak masuk akal untuk memengaruhi hampir semua cewek seangkatan, seperti yang kulakukan pada Janti. Tak peduli apa pendapat mereka, perasaanku tidak pernah lebih senang dari sebelumnya setelah hukuman Maliqa dan teman-temannya dimulai seminggu yang lalu.

Saat kedatangan wali murid dari mereka berempat, aku menyaksikan secara langsung bagaimana cewek-cewek itu dimarahi habis-habisan oleh orang tua mereka. Aku ikut menghadap lantaran bu Riska menginginkan penjelasan yang lebih dari sekadar kejadian tempo hari di toilet. Aku menjelaskan semua. Kendati perisakannya tidak termasuk golongan berat, mereka tetap kena hukuman. Selama dua hari setelah UTS, mereka harus berdiam diri di rumah. Bukan libur, tetapi menjalani hukuman bersama tugas―yang entah apa―dari bu Riska.

Yang paling besar dari perubahan semua itu adalah diriku. Aku sudah tidak lagi keberatan saat seseorang mengajakku bicara, dan aku sama sekali tak keberatan saat diajak Alif berpelesir setelah pulang sekolah.

Mama juga tidak mempermasalahkan jam pulangku yang telat. Mama hanya berucap, "Siapa? Alif? Azul? Mama percaya, kok." Kemudian kembali berkutat di dapur sembari bersenandung, sementara aku menghindari tatapan kakak yang menggangguku di setiap pulang sekolah.

Dengan perasaan kesal menduduki kursi makan, aku mengernyit melihat Kakak masih mencuri pandang padaku.

"Apa? Akhir-akhir ini Kakak aneh." Bukan hanya dari pandangan. Aku memang tidak melihat warna darinya, tetapi aku punya insting yang mengatakan bahwa kakak menyembunyikan sesuatu.

Dia tidak langsung menjawab, justru mencomot udang goreng. "Aneh apanya?"

Aku nyaris melemparkan potongan timun padanya. Tidak ada gunanya aku bertanya lebih lanjut. Alih-alih mendapat jawaban, justru aku semakin dibuat kesal olehnya.

"Apa nilaimu tidak akan menurun kalau sering pulang telat begini?" Kakak bersuara setelah beberapa menit aku tidak menanyainya lagi, membuatku menatapnya tanpa menghentikan tanganku menata piring.

Meletakkan piring terakhir, aku duduk berhadapan dengan kakak, lalu menjawab, "Aku bukan Kakak yang perhatiannya mudah teralihkan." Aku bisa mendengar decihan dari kakak. "Lagian, kita nggak cuma main."

Yang kami lakukan setelah pulang sekolah dan mampir ke kafe papanya Alif atau tempat lain, aku menjadi guru dadakan untuk mereka berdua sekaligus menyelesaikan pekerjaan rumah. Aku tidak tahan jika hanya nongkrong tidak jelas, seolah aku ini murid nakal yang kerjaannya bersenang-senang. Mama juga tidak mempermasalahkannya.

Incandescent #1Where stories live. Discover now