02. Aku Mematahkan Hati Seorang Lelaki

383 106 50
                                    

ku ini tipe orang yang menepati janji—janji tertentu, tepatnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

ku ini tipe orang yang menepati janji—janji tertentu, tepatnya. Setelah menyerahkan formulir ke Pak Aziz, pulang sekolah aku datang ke lab komputer guna mengikuti ekskul untuk pertama kalinya. Gugup dan takut menjadi satu saat melihat pintu lab yang setengah terbuka beberapa meter di depan, membuatku kepingin lari menuruni anak tangga dan duduk manis di halte. Meski begitu, aku memberanikan diri demi mendapat nilai tambahan di rapor.

Pemuda yang memohon-mohon padaku seminggu yang lalu menyambutku, hampir meraih tanganku untuk digoyang-goyangkan dan menari seperti anak kecil, tetapi aku lebih cepat menghindarinya, mengabaikan beberapa pasang mata yang memperhatikan.

“Syukurlah kamu datang.” Pemuda itu berkata, terharu sampai suaranya bergetar. Aku berhasil untuk tidak menunjukan reaksi aneh. “Silakan duduk di kursi depan—ah, kamu juga.”

Mengikuti arah pandang pemuda itu, dan lantas mengernyit saat mendapati Alif yang baru saja masuk. Wajah cowok itu langsung ceria bersama warna kuning yang muncul di sekitar kepalanya saat melihatku, memberi tahuku bahwa dia tidak iseng mengikutiku sampai lab komputer.

“Kana, kok, nggak bilang?” Alif langsung bertanya saat kami duduk di bagian depan, tepat menghadap papan tulis. Baru beberapa orang yang datang, dan itu dari kakak kelas. Di saat seperti ini, aku berharap semoga tidak ada lagi yang datang dari kelas sepuluh. Toh, orang yang sudah berkumpul di sini sudah memenuhi persyaratan dari sekolah.

“Selain ini, kamu ikut ekskul apa?” Alif masih bertanya, sementara tangannya sibuk menyalakan komputer.

Aku mengikuti Alif, menyalakan komputer, lalu menjawab tanpa minat. “Nggak.”

Cieee .... Kita samaan ...,” seru Alif. Rasa ingin memukul wajahnya ada, dan seperti biasa aku bisa menahan diri dengan sibuk pada komputer yang sudah menyala.

Sungguh, aku tidak suka dengan orang cerewet. Alif ini salah satunya, yang membuat hatiku dongkol hanya karena beberapa pertanyaannya. Bahkan saat aku mengabaikannya pun, cowok itu masih senang, tidak kesal seperti para cowok di kelas yang berusaha akrab denganku.

Kecerewetannya berhenti saat Pak Aziz datang dan berbicara singkat pasal pengenalan klub, padahal hanya aku saja yang—bisa dibilang—anggota baru. Aku bersyukur karena itu. Maksudku, toh jumlah anggota klub ini sudah masuk kriteria sekolah kendati kelas dua belas dalam beberapa bulan ini menjadi alumni; dan ... tentu saja aku tidak perlu khawatir dengan olok-olokan dari murid seangkatan.

Setelah pengenalan singkat, aku dihadapi kesulitan saat menatap monitor. Pak Aziz sepertinya sengaja, menyuruhku mengklik ikon apa saja pada software desain. Beliau berkata padaku sebelum keluar ruangan. “Kamu tidak perlu pengawasan. Kamu, kan, pintar.”

Ada kalanya aku bodoh, kesulitan menghadapi beberapa hal. Masalah gambar-menggambar, misalnya. Aku bahkan baru menyentuh aplikasi desain selama hidupku, lantas dilanda kepanikan saat kertas pada layar—aku tak tahu harus menyebutnya apa—menghilang. Aku berbuat kesalahan di hari pertama, dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.

Beruntungnya Alif menyadari masalahku, dan sepertinya, aku memang tidak harus berharap padanya. Alih-alih langsung membantuku, Alif justru tersenyum tanpa mengalihkan tatapannya dariku. Aku yang risi, berdecak, tanpa sadar mengklik ikon—entah apa—sampai kursornya menghilang.

Alif terkekeh padahal aku super panik. “Kamu, kok, lucu.”

Aku berusaha tak menghiraukannya, kemudian bernapas lega saat kursornya sudah kembali.

Alif menggeser kursinya agar lebih dekat denganku. “Sini, biar aku bantu.” Tangannya menyentuh tanganku yang memegang mouse. Lantas, aku menepisnya keras sampai mouse itu terlempar dan menimbulkan bunyi keras.

Aku langsung meminta maaf pada kakak kelas yang perhatiannya teralihkan. Alif di sebelahku justru santai-santai saja.

“Aku baik, loh .... Nih. Coba kamu klik ini.” Alif menunjuk ikon di monitor, dan aku malah terdiam. “Ini, tuh, namanya—”

“Aku bisa sendiri,” ketusku.

Terdiam beberapa saat, sempat aku mengira Alif menarik tawarannya, tetapi cowok itu justru terkekeh. “Beberapa menit yang lalu kamu panik. 'Loh ... kok, hilang? Kenapa? Apa bakalan meledak?'“ Alif meniru ekspresiku dengan berlebihan. Malu dan kesal membuat wajahku memanas.

“Aku ini jago dalam hal desain-mendesain.” Alif menyombongkan diri, sementara aku berpura-pura sibuk dengan kotak warna yang ada dalam aplikasi. “Aku bisa, kok, mengajari kamu.”

Entah kenapa aku punya firasat buruk saat melihat deretan giginya kala Alif tersenyum. Dia berkata, “Aku akan menjadi gurumu. Tiap hari. Gratis. Mau, 'kan?”

Aku sudah menolaknya dengan tegas, tetapi Alif tidak menyerah untuk mendekatiku. Dia semakin cerewet dan menyebalkan, mengabaikan rasa kesalku beserta tatapan tajam para cewek. Janti dan Maliqa yang melihat kami, warna merah di sekitar kepala mereka semakin membara.

Seolah sifat super menyebalkan Alif belum ada apa-apanya, aku dibuat kesal saat Azul, si Ketua Kelas, pindah tempat duduk di belakang Alif. Dia juga memberi alasan, dan aku bisa melihat warna ungu pekat di sekitar kepalanya. “Farhan ingin tukar tempat, Farrel juga ingin duduk denganku. Yah ... sekalian biar dekat dengan kalian.”

Farrel, cowok di belakangku menatap Azul datar. Jelas bahwa dia tidak menginginkan cowok itu duduk di sebelahnya. Farrel menatapku dan berkata, “Kamu tahu, 'kan? Dia berbohong. Dia itu sebenarnya—” Tangan Azul menutup mulut Farrel, tetapi Farrel dengan mudah melepasnya seperti membuang sebutir nasi di sudut bibirnya. Farrel melanjutkan, “Tanpa diberitahu pun, Kana tetap tahu.”

Aku tidak tahu.

Kendati Azul bersikeras untuk akrab denganku, dia tetaplah orang yang percaya akan gosip buruk tentangku. Azul terlihat merasa bersalah, mengira aku benar-benar tahu apa yang ia pikirkan.

“Ya ... begitulah.”−Azul menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal−”Cuma kamu yang susah didekati. Seharusnya aku pindah tempat duduk dari kemarin-kemarin, tapi baru kesampaian sekarang.” Dia melirik Alif yang berusaha memahami pembicaraan.

Aku tahu Azul berusaha mendekatiku sejak tahun ajaran baru dimulai, hanya saja aku menolaknya. Sebagai ketua kelas, sudah tugasnya untuk akrab dengan teman sekelas, lebih-lebih lagi memudahkannya untuk marah-marah dan membuat kelas terkondisikan. Bagiku, dia sama menyebalkannya dengan para cewek yang merisakku.

“Kana susah didekati?” Alif berceletuk. Aku menahan diri untuk tidak mengernyit saat tatapannya mengarah padaku, seolah-olah dia tak percaya akan ucapan Azul barusan. “Kok, aku bisa mendekatinya semudah ini. Jangan-jangan, Kana alergi dengan orang jelek.”

Azul mendengkus keras, tidak menanggapi Alif yang masih mengejeknya.

Sejak kapan aku mudah didekati? Aku bahkan masih bersikap ketus padanya. Dianya saja yang bebal dengan sikap pedasku.

Bahkan lebih buruknya lagi, Azul mengikuti jejak Alif. Dia sudah tidak lagi mundur saat aku memberi tatapan ketus. Berkali-kali dia mencolek bahuku, dan aku berusaha tak menghiraukannya.

Para cewek menjadi gempar. Desas-desus tentangku menyebar sampai kelas ujung, semakin menyulitkanku keluar kelas lantaran telingaku panas mendengarnya. Apalagi saat Azul tahu-tahu menyarankan pada Pak Jaya untuk membentuk kelompok bersamaku. Tiga orang bersama Alif, sampai Maliqa protes dan mengejekku terang-terangan di hadapan Pak Jaya.

“Tidak bisa begitu, dong, Pak. Seharusnya Bapak tahu kenapa dia duduk di barisan laki-laki. Pak, dia itu modus—”

“Siapa yang modus? Heh, siapa?” Alif membalas seruan Maliqa, sementara Pak Jaya mengurut pangkal hidungnya, berusaha sabar.

Aku yang menjadi objek perdebatan mereka, hanya bisa diam, tidak bisa membalas atau menghentikannya. Sungguh, aku tidak suka dengan sikap Alif yang sok pahlawan di setiap para cewek terang-terangan mengolok-olokku. Dia semakin menarikku dalam masalah.

Kacau.

Kehidupan sekolahku dari dulu memang kacau, dan ... di tahun ini naik ke level tertinggi hanya karena seorang cowok yang bebal dan tidak tahu malu.

Namun, aku tidak punya pilihan. Mau tak mau aku harus satu kelompok dengan Alif dan Azul, mengabaikan olok-olokan dari para cewek seperti biasanya.

Satu hal yang baru kusadari setelah perdebatan Alif dan para cewek mereda berkat Pak Jaya: aku bisa mendapat nilai praktik dengan adil.

Setidaknya untuk sekarang. Aku kembali dihadapi rasa kesal karena Alif memiliki sifat kekanak-kanakan. Azul juga berubah seperti Alif. Sifat tegas Ketua Kelasnya hilang dalam sekejap.

“Jijik, 'kan?” Farrel berkata di tengah perdebatan kecil Alif dan Azul, membuatku menoleh padanya. “Mereka satu SMP. Sahabatan. Istilahnya saja yang sahabat, tapi nyatanya kayak musuh yang masih anak-anak.”

Aku setuju dengan Farrel. Perdebatan tidak penting Alif dan Azul membuatku mengernyit. Sejak sepuluh menit yang lalu, mereka masih beradu lidah pasal tempat tugas kelompok, kemudian mengarah pada kelakuan buruk mereka. Jika perdebatan itu diteruskan, akan banyak sekali rahasia yang keluar.

“Pilih salah satu tempat yang punya bahan-bahan praktik.” Pada akhirnya aku membuka suara, berhasil menghentikan ocehan Alif dan Azul.

Entah kenapa setiap kali melihat Alif yang tersenyum lebar, aku menjadi curiga padanya. “Baik. Rumahku ada bahan-bahannya.”

“Azul?” Aku melirik Azul, menunggu dia merekomendasikan tempat lain, tetapi dia hanya tersenyum seperti orang gila. Beberapa menit lalu dia menentang pilihan Alif, dan sekarang dia .... Aku tahu maksud mereka berdebat seperti orang tolol. Mereka memancingku untuk berbicara.

Jadi, di sinilah aku. Berdiri di gerbang rumah mewah bersama dua cowok yang berdebat masalah ongkos ojek, dan berakhir Alif hanya membayar bagianku saja. Bisa-bisanya orang kaya seperti dia pulang-pergi sekolah naik angkot dan ojek alih-alih mobil pribadi.

Rumah Alif terlihat seperti kotak aneh yang nyasar ke Bumi. Berbeda dengan rumah di sekitarnya yang memiliki atap segitiga. Mama sempat membuat papa ketakutan saat postingan dari sosial media bergambar rumah serupa ditunjukkan. Saat aku memasuki gerbang besarnya, aku serasa sedang menapaki halaman mal atau sejenisnya. Tamannya begitu rapi dan tentunya diisi dengan yang mahal-mahal. Kepalaku berputar ke sana kemari seperti orang udik, lalu mendapati satu tanaman yang begitu mencolok tumbuh di dekat pagar tembok—bunga merah yang mekar nyaris menutupi semua daunnya. Satu bahan praktik sudah terdeteksi, dan aku yakin bahan lainnya nongkrong di kulkas menunggu dijemput.

“Alif ini orang kaya. Tapi pelitnya minta ampun.” Azul berbisik padaku sementara Alif memimpin jalan, membuka pintu, dan masuk tanpa memberi salam.

Apapun yang Azul katakan, itu bukan urusanku.

Kendati di luar terlihat seperti kotak putih dari dunia lain, di dalamnya justru terlihat seperti yang kudapati di majalah milik mama. Aku serasa berada di masa depan. Alif menyuruh kami duduk di kursi rotan empuknya yang berada di samping rumah sementara ia pergi menaiki tangga melayang. Rumah ini tidak memiliki sekat seperti di rumahku. Terang dan luas. Kakak mungkin akan terus memaksaku bermain bulu tangkis di tengah-tengahnya. Orang tua Alif ini pengusaha, biar kutebak. Selagi aku mengamati taman kecil samping rumahnya dan azul yang curi-curi padang ke arahku, Alif datang membawa banyak sekali camilan, pakaiannya sudah berganti menjadi kaus putih dan celana jeans pendek.

“Santai saja. Toh, nggak ada siapa-siapa di rumah ini. Dan waktunya masih banyak, 'kan?” Sesantai perkataannya, Alif mendudukan diri di sebelahku, nyaris bersender di bahuku jika aku tidak segera pindah.

“Nggak ada siapa-siapa?” Tanpa sadar aku bertanya lantaran heran mendapati rumah besar tanpa orang dewasa di dalamnya.

“Orang tuaku kerja. Malam juga pulang,” jawab Alif santai.

Aku hampir saja bertanya mengenai asisten rumah tangga, sampai aku menyadari kenapa aku ingin tahu akan hal semacam itu pada Alif.

Camilan yang disuguhkan terlalu banyak. Azul menikmatinya seperti rumah sendiri, mencuri satu bungkus keripik tempe ke dalam tasnya tanpa sepengetahuan Alif, sementara aku terus menggerutu dalam hati, merasa tak nyaman dengan sekitar, lebih-lebih lagi dengan tatapan Alif. Aku ingin pulang. Ini pertama kalinya bagiku pergi ke rumah teman sekelas cowok, orang kaya, dan mereka sama-sama memiliki sifat menyebalkan.

“Bisa kita mulai saja?” Aku bertanya, merasa kesal lantaran mereka cuma leha-leha tanpa melakukan pekerjaan dari sekolah selama hampir setengah jam. Azul bahkan nyaris tertidur jika saja Alif tidak mengganggunya dengan ocehan tidak penting.

Alif berdiri, hendak duduk di sampingku, tetapi saat aku memelotot, dia kembali duduk di kursinya. “Masih siang, loh—”

“Aku keluar dari kelompok—”

“Eh ...!” Nada suaranya melengking, berhasil membuat Azul terkinjat—cowok itu gagal menutup matanya lagi. Alif berdiri, mengedik pada Azul. “Jul, ambil bunga sepatunya.”

Azul menurut, pergi ke luar rumah setelah menyambar sebutir permen di dalam stoples yang terbuka. Setelah kepergiannya, Alif membawaku ke dapur ala kafenya, dan aku dibuat pusing saat disuruh mengambil kubis ungu di dalam kulkasnya yang besar. Alif yang menyadari hal itu, Cuma bisa tertawa tanpa membantu. Beruntungnya Azul cepat datang dan membantuku.

“Jangan membuatnya kesal.” Azul memperingati Alif, dan aku setuju dengannya.

Alih-alih menyadari kesalahannya dan meminta maaf—dan aku berharap dia tidak mengulanginya—Alif justru terkekeh. “Habisnya ... Kana kelihatan imut.”

Azul berhasil menggantikanku untuk melemparkan sesuatu ke wajah Alif.

Suasananya tidak seburuk yang aku kira. Maksudku, Alif dan Azul tahu apa yang harus dilakukan tanpa mengeluh saat aku menyuruh mereka menghaluskan kubis ungu, atau menyiapkan sabun cair dan membantuku menghaluskan bunga sepatu dengan tangan kosong. Mereka menuruti perintahku. Mungkin, jika aku sekelompok dengan para cewek, aku akan di rumah tanpa ikut bekerja, dan nilaiku sudah pasti kosong. Atau yang lebih parahnya, aku sendiri yang bekerja sementara mereka cuma menunggu nilai masuk.

Suara mesin telah membuatku bergidik ngeri. Kulihat Alif tengah menggerakkan badannya seperti cacing sambil tertawa-tawa, tidak peduli dengan baju dan lantainya yang kotor terkena cairan bunga sepatu, sementara Azul mengambil video kesurupan temannya dengan ponsel. Saat matanya melirikku, Azul segera mematikan blender, tersenyum kaku lantas memukul Alif. Aku yang tengah memeras bunga sepatu, nyaris melemparkan ampas lembek di tanganku ke arah mereka. Aku kesal. Baru saja aku mengakui rasa senangku satu kelompok bersama mereka, tetapi dua cowok itu malah main-main. Tak bisakah mereka serius sedikit saja?

“Eh .... Um .... Ka−kayaknya aku membuatnya terlalu halus.” Alif membuat gerakan kaku, matanya bolak-balik ke arahku dan bubur kubis ungu. Dia merasa bersalah, takut aku marah, dan aku memang sudah marah melalui tatapan. “A−aku cari kain tipis dulu buat menyaringnya.” Secepat itu pula Alif melesat meninggalkan dapur, meninggalkan Azul yang tak tahu harus mengatakan apa.

Namun, pada akhirnya dia berhasil berkata, “Um .... Maaf. Kamu pasti kesal, ya?” Kedua tangannya memutar-mutar ponsel, dan warna biru serta hijau pekat di sekitar kepalanya menunjukkan bahwa dia sedang sedih dan takut—perpaduan rasa bersalah yang berlebih. “Kami memang selalu begitu. Maaf. Kami cuma ... ingin melihat reaksimu. Selama ini kamu hanya diam, bahkan saat cewek-cewek itu berkata buruk tentangmu. Maksudku, itu bagus. Diam memang cara yang tepat agar tidak memperbesar masalah. Tapi, Kana. Cobalah untuk berbicara dengan teman sekelas. Berteman. Walaupun bukan perempuan, setidaknya kamu punya—”

“Itu bukan urusanmu.” Aku menyela tanpa pikir panjang. Aku hanya merasa kesal dan tidak nyaman dengan sikap sok pedulinya. Namun, saat aku melihat kedua warna yang membesar di sekitar kepalanya, entah kenapa aku merasa bersalah.[]

[]
 

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Incandescent #1Where stories live. Discover now