08. Aku Mendapat Nasihat Kematian dari Mama

174 66 12
                                    

“Sebenarnya aku tidak bisa merajut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Sebenarnya aku tidak bisa merajut.” Alif mengaku saat kami turun dari mobil dan berjalan mencari toko pionir di akhir pekan. Walaupun tugasnya dikumpulkan beberapa hari lagi, kami memutuskan untuk membeli bahan-bahan terlebih dahulu, merajutnya entah kapan.

Aku tidak heran mendengar kalimatnya. Aku bahkan tidak bisa merajut walaupun mama terkadang merajut taplak meja di hadapanku, atau nenek yang dengan sukarela menunjukkan caranya merajut biarpun aku sudah menolaknya. Kulirik Azul yang sibuk dengan ponselnya, dan pada akhirnya aku mengeluh saat menyadari nilai praktikku kali ini akan rendah.

“Aku bisa, kok.”

“Apa?” Aku langsung merespons mendengar Azul berkata demikian.

“Adikku sering memintaku untuk membuat gantungan kunci. Aneh, ya, kalau cowok bisa merajut?”

“Eh? Nggak.” Aku langsung menjawab, tidak bermaksud merendahkan bakat terpendam Azul. Aku hanya merasa ... takjub saja mendengar ada cowok bisa merajut.

“Sejak kapan? Kamu saja nggak bisa menjahit celana bolong.”

“Hey!” Azul segera memelotot pada Alif, kemudian melirikku dengan warna hijau muda di sekitar kepalanya. “Itu dulu.” Azul mencicit, kembali menatap ponselnya dengan wajah memerah. Sementara aku sama sekali tidak tahu kenapa dia bersikap malu-malu seperti itu.

“Kamu pasti penasaran, 'kan?” tanya Alif padaku, membuatku menoleh dan mendapatinya tengah menghalau sinar matahari dengan tangan dari wajahnya. Aku kira, mata Alif berwarna hitam, tetapi aku salah. Salah satu matanya yang tak tertutupi bayangan tangannya, ternyata berwarna cokelat terang yang memukau sampai membuatku terpaku hingga tersandung sesuatu di bawah sana.

Aku segera mengalihkan pandangan ke depan. “Penasaran tentang apa?”

“Azul.”

“Aku?” Azul sudah menaruh ponselnya dalam saku. Tubuhnya yang tinggi mampu menghalau sinar matahari dari badanku yang kecil, dan aku baru menyadari kalau rambut Azul turun sampai matanya—dia sedang tidak pakai pomade.

“Azul ini anak kedua dari empat bersaudara.” Tanpa menghiraukan rasa keberatan Azul, Alif tetap melanjutkan, “Semuanya cewek, hanya dia yang cowok. Makanya Azul harus beradaptasi. Jangan heran kalau tiba-tiba dia pakai sesuatu berwarna merah muda, atau apapun itu yang identik dengan perempuan.”

Sementara Alif cekikikan melihat wajah temannya memerah dan menahan rasa kesal, aku justru menatap Azul tidak percaya. Jadi, dia punya dua adik? Pantas saja dia pandai mengomel di kelas, mampu menjalankan tugasnya sebagai ketua kelas dengan baik—kecuali mengatur para cewek yang susahnya minta ampun. Pasti repot sekali saat sedang di rumah. Entah apakah Azul punya waktu bersantai sebanyak yang aku miliki. Aku saja sudah repot menghadapi sikap menyebalkan kakak dan sering lari dari tanggung jawab, lebih-lebih lagi Azul yang punya dua adik berumur hitungan jari—itulah yang kudengar dari Alif yang masih mengoceh tentang kedua adik Azul.

Incandescent #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang