"Operasi besar?"

"Tidak juga sih,"

"Lalu? Kenapa masih dikursi roda?"

"Anaknya agak manja memang. Tidak tahan sakit jadi, ya... Begitu lah,"

Kening Ardan berkerut. Ardan melirik ke arah Arman dan Arman hanya mendengus kesal. Agak aneh memang. Ardan tahu dua adiknya sama dengannya. Tidak ada yang pernah memanggil mereka dengan nama kecil mereka tanpa izin. Kecuali...

"Arsen, sebenarnya siapa pasienmu itu?" Tanya Ardan.

"Maksud kakak?"

"Ya, siapa pasienmu itu selain sekedar seorang pasien di rumah sakit ini?"

"Kak... Jangan seperti kak Arman!"

"Rio Arseno," Panggilan Alvaro membuat Arsen meneguk ludahnya.

Sang ayah sangat jarang memanggil nama lengkapnya.

"Sudah lupakah pada ucapan papi?" Tanya Alvaro.

Arsen mengudak memori otaknya untuk mencari kalimat mana yang dimaksud sang ayah.

"Sudah lupa jugakah apa status kamu sekarang?" Tanya sang ayah lagi bahkan sebelum Arsen menemukan jawaban dari pertanyaan sebelumnya.

"Pi-"

"Sudah lupa juga dengan semua janji kamu pada Naira dan adik-adiknya saat kamu memohon agar Nai mau jadi kekasih kamu?"

Arsen tersentak. Sebesar itukah kesalahannya tadi? Dia hanya mengantar pasiennya. Tidak ada maksud lain.

"Arsen, kamu sudah besar. Papi rasa, papi tidak perlu lagi mengingatkan kamu berkali-kali. Papi juga merasa papi tidak perlu ikut campur dalam rumah tangga kamu. Tapi, kalau Naira dan kandungannya terganggu karena kamu, papi akan memukul kamu," Ujar Alvaro.

Arsen kembali diam.

"Pikirkan sendiri kenapa papi dan kakak-kakak, ipar, juga adik kamu seperti ini,"

"Ardan, nanti kamu dan Maura jemput Naira menginap di rumah kalian saja," Ujar Alvaro pada anak sulungnya.

"Baik, pi,"

Arsen hendak protes namun dia urungkan saat beradu tatap dengan sang ayah.

"Pi, lebih baik Mara, kak Natasha, dan Alesha saja yang ajak Nai menginap ke hotel. Kalau Ardan ikut menjemput, Lisa dan Eren akan curiga nanti,"

Alvaro menangguk setuju. Maura langsung pamit bersama dengan Natasha dan Alesha. Mereka menyisahkan empat pria Dimitra yang saling diam karena pikiran mereka masing-masing.

"Dek, kakak tidak memarahimu. Arman dan papi juga tidak. Kami paham kalau kamu hanya melakukan tugasmu tapi, semua tetap ada batasnya bukan?" Ujar Ardan.

Helaan napas Arman terdengar setelahnya. Dia berjalan ke arah Arsen matanya menatap lurus mata adik kembarnya itu.

"Aku sudah pernah mengatakan padamu, bukan? Jadikan kesalahanku pada Natasha dulu sebagai pelajaran agar kamu tidak seperti itu nantinya. Sepertinya percuma aku mengatakan itu padamu dulu," Ujar Arman.

Arman mengulurkan tangan dan menjabat tangan adik kembarnya itu.

"Selamat, kau baru saja memulai karya yang akan menghancurkan rumah tanggamu sendiri!" Ujar Arman sebelum melepaskan tangannya.

"Aku doakan anak kalian tidak dibawa sembunyi oleh ibunya nanti," Ujar Arman lagi sebelum menepuk bahu Arsen dan keluar dari kamar rawat ayahnya setelah dia pamit pada sang ayah untuk ke kantin.

"Naira pernah menghilang dari Alesha sampai Alesha berpikir Naira sudah tidak ada. Bukan tidak mungkin jika Naira akan mengambil keputusan untuk mundur bersama kedua adiknya lalu, menghilang dari kehidupanmu. Kalau saat itu terjadi, aku, papi, bahkan keluarga Eginhardt tidak akan bisa membantu," Ujar Ardan.

Ardan mengusak rambut adik bungsunya perlahan.

"Coba pikirkan lagi Arsen. Apa gadis itu lebih penting dari istrimu, keluarga kecil kalian dan dari anakmu? Kalau jawabannya iya, lebih baik segera selesaikan secara baik-baik dengan Naira. Mungkin kau masih bisa melihat anak kalian nantinya," Ujar Ardan lagi.

Arsen semakin terheran juga takut. Setelah dia mendengar ucapan Arman yang seolah menakutinya kini kakak sulungnya berujar hal yang serupa. Arsen benar-benar takut. Terlebih saat dia menatap ayahnya, sang ayah hanya menghela sebelum membuang wajah dan lebih memilih menatap jendela.

Arsen menunduk. Dia hanya tidak bisa mengabaikan tugasnya. Tapi, apa yang kedua kakaknya katakan serta pelakuan keluarganya padanya membuatnya merasa dilema sendiri. Pada akhirnya, Arsen keluar dari kamar itu dan segera mengambil ponselnya dari saku jasnya.

"Ya, kak?" Suara halus itu Arsen dengar saat panggilan teleponnya terjawab.

"Kamu dimana, Ai?"

"Di rumah. Sedang melihat kulkas sambil memikirkan menu makan malam,"

"Kalau Mara dan yang lain ke rumah untuk mengajakmu pergi, jangan ikut!"

"Hm? Baiklah,"

"Aku mau bicara denganmu,"

Suara tawa Naira membuat Arsen mengerutkan keningnya.

"Kakak kenapa? Kakak kan sekarang sedang bicara denganku,"

"Maksudku secara langsung, sayang. Bukan melalui telepon begini,"

"Kakak mengajakku jalan-jalan?"

"Hn. Bisa dibilang begitu,"

"Baiklah, setelah menyiapkan camilan aku akan bersiap,"

"Aku jemput jam empat nanti,"

"Baiklah, sampai ketemu jam 4 papa,"

Arsen terkekeh kecil. Sepertinya Naira tidak marah padanya. Mungkin keluarganya saja yang melebih-lebihkan. Naira tidak apa-apa. Arsen menyimpan kembali ponselnya dan segera melanjutkan pekerjaannya.

Lain Arsen lain Naira. Sebenarnya ipar-iparnya sudah ada di rumahnya sejak sebelum Arsen menelepon. Mereka juga sudah bilang mau mengajaknya ke sebuah hotel untuk "me time". Naira tahu pasti ayah mertuanya yang meminta para iparnya mengajaknya keluar sejenak.

Tapi, Arsen menghubunginya tadi. Mau tidak mau dia menolak ajakan para iparnya. Meski para ipar agak memaksa Naira untuk tetap ikut, Naira juag tetap menolak. Menyelesaikan urusan bersama suaminya jauh lebih berguna sekarang. Naira merasa tidak baik membiarkan masalah berlarut-larut begitu saja. Jadi, ya Naira memilih untuk menemui suaminya dari pada ikut para iparnya ke hotel untuk spa dan menginap.

'Semoga semua hanya salah paham saja,'

[DS #3] Save Me Hurt MeHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin