"Run!" panggil Mbak Drina sembari menghampirinya. Arun hampir lupa Mbak Drina melihatnya dari balik jendela. "Ini buketnya. Kamu udah mau pergi?"

Tangkai-tangkai bunga yang beberapa saat lalu terpisah kini mengumpul dalam satu rangkaian dengan tinggi yang berbeda-beda. Mawar kelopak bulat—yang bukan mawar—berwarna peach berada di tengah, dikelilingi bunga putih, krem, dan sedikit peach lagi. Dedaunan dan tanaman berkuncup kecil menjadi penyeimbangnya. Mawar-yang-bukan-mawar satu lagi mengimpit mawar asli di tepi, kadang bergantian warna, kadang bersisian. Arun tak mengerti bunga apalagi cara merangkainya, tetapi Mbak Drina jelas punya ilmu dan bakatnya hingga bisa menciptakan buket yang modern, organik, tapi tetap rapi dipandang. Paduan warnanya menyiratkan kelembutan, cocok sebagai buket pengantin. Bukan buket wisuda atau belasungkawa.

"Wow!" Orlin cepat-cepat kembali dan mendekati buket itu. "Cantik banget! Ternyata ranunculus peach lucu juga," tunjuknya pada bunga di tengah. "Terus ini lisianthus, kan? Saya kira cuma yang warna ngejreng aja yang laku. Malah bagus warna putih begini. Oh, maaf, Kak, saya Orlin."

Dia, seperti tadi, menyodorkan tangannya, tetapi bedanya Mbak Drina sigap menyambut. Mbak Drina terkekeh. "Terima kasih. Jadi Orlin yang bakal temani adik saya?"

"Iya, Kak Drina. Sekalian naik motor saya aja."

"Wah, syukurlah. Jadi bisa lebih cepat."

Pikiran Arun: Haruskah Orlin bersikap terlampau akrab juga dengan Mbak Drina? Atau begitulah kepribadiannya? Yang Arun katakan: "Gimana cara bedain bunga-bunganya?"

Setidaknya itu bukan pertanyaan bodoh.

"Ranunculus punya kelopak yang lebih bulat, itu jelas." Orlin menggambar bentuk bulat imajiner dengan jarinya. Kemudian, dia menunjuk ke buket. "Kalau lisianthus, ini. Dia punya kelopak yang dari samping kayak lonceng meski tumpukannya mirip mawar. Makanya Kak Drina taruh lisianthus di pinggir, jadi kelihatan agak jatuh dan menonjolkan bentuk khasnya."

Arun tak perlu melihat untuk tahu Mbak Drina sedang tersipu sekarang. Tak banyak yang memuji Mbak Drina sedetail ini—bahkan Arun pun hanya bilang 'bagus' atau 'nanggung'. Mas Kal lebih payah lagi. Kalau tidak bisa menjawab, dia pasti hanya akan mengecup kening Mbak Drina dan pergi.

"Senang, deh, bisa diapresiasi Orlin." Mbak Drina tersenyum, lalu memasukkan buket ke dalam kantong kertas cokelat besar. "Karena tadinya buat nikahan, jadi buketnya nggak dikasih wrapping kertas. Nggak apa-apa, kan? Udah tanya ke Bu Lis langsung, sih, dan jawaban beliau samain aja."

Orlin, tampak tersadar dia yang sedang ditanya, tersenyum balik. "Iya, nggak apa-apa, Kak."

"Pergi dulu, ya, Mbak." Sebelum makin canggung, Arun meraih tangan Mbak Drina, salim, lalu mengambil kantong buket itu dan memegangnya. "Kabarin aja kalau mau nitip beli sesuatu."

Mbak Drina menepuk kepalanya. "Pakai helm jangan lupa! Alamatnya udah?"

"Yang tadi Mbak kirim? Udah Arun pasang di Maps."

"Oh, ya! Nanti Orlin yang nyetir, kan? Arun belum bisa naik motor lagi karena—"

"Sebetulnya udah, tapi dilarang terus. Padahal nggak parah."

"—karena pernah kecelakaan. Kalau nanti Arun minta nyetir, jangan mau, ya."

Orlin terkekeh. Entah apa maksudnya. "Siap, Kak."

"Hati-hati. Makasih juga, ya, Orlin. Salam buat Bu Lis," balas Mbak Drina sebelum melambai.

Sesudah Orlin menjawab Mbak Drina seakan dia mengenal Ibu Lis dan menentang apa yang baru saja dia beritahu, mereka berdua mengenakan helm, kemudian mengucap salam. Arun menunggu hingga Mbak Drina menutup pagar meski kemungkinan besar masih melihat mereka dari dalam. Disusulnya Orlin. Mereka bersitatap.

MemoriografiOnde histórias criam vida. Descubra agora