Chapter XXV: On the Run

16 1 0
                                    

Aku menyukai denting jam yang berbunyi, rasanya seperti mengkhawatirkan sesuatu, akan tetapi adrenalin ini sangat ambigu bagiku. Tercampur aduk rasanya dan begitu dahsyat dalam gemaku. Sudah kukatakan dahsyatnya denting jam yang berbunyi di setiap penjuru kota seperti mendengar bisikan sihir, hingga merindukan sosok seseorang. Orang yang telah ditelan oleh ketamakanku, serta bidikan panah yang tidak tertuju kepadanya. Jejak kakinya sudah terhapus oleh ombak, wajahnya mulai memudar dalam bayang-bayang hitam.

Kembali sadari kau telah pergi, lalu gelap ini memberikan tangisan dalam pelukan bulan. kemarin aku menangisi diriku, sekarang aku menangisi seseorang, esok siapa yang akan ku tangisi? yang pasti sepertinya manusia. Mereka-mereka tak mampu untuk mencermati dia, karena dia melebihi dari yang mereka pikirkan. Lagi dan lagi mereka menyebutnya tak mampu menjaga diri, hingga gila pun punya jiwa. Aku bukan mereka dan dia bukan mereka, maka dari itu aku dan dia harus bersatu.

Aku akan terus mengejarnya walaupun ganasnya badai menjauhkan dia dari diriku, aku dekap diriku dengan erat untuk bisa berdekat dengannya. Aku tidak bisa hanya bersandar dalam batang pohon yang kuat untuk menjadi perlindunganku, karena aku harus seperti pohon agar tidak rubuh seperti kehancuran. Dinginnya angin menusuk tulang-tulangku sehingga ngilu sekali dibuatnya, aku khawatir dengan dia. Bersahabat bukan berarti menurunkan martabatnya, tetapi kesungguhan menyadari ketulusan karena mata tidak pernah berbohong. 

Ilham diasa dengan tulisan-tulisan yang terletak di kertas kusut, hati pun ikut diasa dengan pengalaman-pengalaman yang sudah dilalui. Burung melewati mentari hingga sinarannya tertutupi oleh sayapnya seperti sadarku tidak pernah meninggalkannya. Hari ini aku menari dengan matahari di pagi hari, larut malam terus menari digantikan oleh rembulan indah. Julur lidahku untuk permintaan maaf dan membuat mental baja yang terdapat di hati paling dalam. Aku tidak bisa merubah apa yang sudah terjadi, yang aku bisa hanya mengharapkan apa yang akan terjadi, teruntuk sahabatku Lidah Perak aku minta maaf bila aku mempunyai batasan. Maksud itu bukan aku tidak mempercayaimu melainkan aku percaya kepadamu, jiwamu adalah jiwaku, berpaling bukanlah kata yang tepat untuk saat ini. 

Berteriak dalam keramaian isi kepala hingga buyar ditelan samudera, terlindungi oleh kehangatan tubuh sambil menenggakkan alkohol lalu dibuat tolol. Tugasku sekarang hanya menjawab dari pertanyaan-pertanyaan yang kubuat sendiri, capaian itu sangat sulit untuk kudapati bila aku hanya sekedar mengerti asal saja. Sarangku harus dibusukan untuk sementara agar aku mendapat jawaban-jawaban dari sekian banyaknya pertanyaan.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 01, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Never End of Silver TongueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang