Wajah hari ini seperti orang gila yang merasa bahwa dirinya tidak gila. Terpenjara dikamar layaknya napi di dalam jeruji besi, bisa ku sebut juga dengan budi dan akal. Apakah aktivitasku hari ini akan sama seperti kemarin, akalku berkata iya tetapi hati berbeda. Jangan berkecil hati, samudera diri belum digapai sedalam-dalamnya. Warna-warna berkelana dalam diri seperti jalan mana yang akan dilakukan saat ini, lagi dan lagi apakah akan berakhir sama? sepertinya kata kepastian tidak sempurna.
Kalau akal adalah harta manusia lantas harta apa yang dimiliki dewa? hmmm gila sudah punya jiwa. Lepas dari itu semua hanya kebingungan yang kudapatkan, sinar rembulan menyinari imajinasi yang sedang kukarang tanpa paksaan dan sangat indah untuk dilakukan. Bergumam dengan apa yang kulihat, terlintas benang merah datang dan kata terucap nama. Nama yang saat ini belum menampakan wajahnnya, hanya satu manusia yang ingin mencampuri semuanya. Hilangnya aku ditengah lautan hanya mencarinya kesana kemari, sedangkan ia hanya menari-nari ntah itu menari dalam kesedihan atau kesenangan.
Merebut yang bukan milikku, tetapi aku hanya merebut peluang. Terlalu dini untuk fokus pada kelebihan hingga lupa kekurangan masih mendaki dalam diri. Merampok terus hal-hal gila yang dilakukan oleh orang gila, berlipat ganda menjadi benalu-benalu dalam mencuri ilmu yang disajikan. Sesungguhnya mengibarkan bendera putih itu pasrah, jangan lakukan itu teruslah menggali sampai sekop mengenai harta karun. Serpih-serpih kegagalan akan terhembus oleh angin lautan dan bersiaplah dipandang oleh manusia-manusia yang berada pada tangga bawah. Hiraukan saja itu, karena bersikap acuh itu penting.
Lalu bagaimana dengan hati yang terus menginginkan dituruti ini. Kalau aku hanya meraba-raba saja dalam benakku itu akan percuma saja, tetapi aku sangat takut merebut kemerdekaannya. Aku ingin menjadi Yi Sun Sin yang handal dalam memanah, tetapi bukan untuk kematian melainkan panah asmara. Akan kupanggil lagi namamu yang tersebut dalam benang merah yang terletak jauh dari pikiran dan ragaku, karena aku mencintaimu.
YOU ARE READING
The Never End of Silver Tongue
RandomNamaku Rama Baya, orang biasa memanggilku Rama. Aku mulai membuat tulisan ini karena bintang kejora yang pernah aku miliki perlahan-lahan mulai dilahap oleh awan kumulonimbus. Setiap akhir tahun selaluku ratapi dengan raut wajah yang egois. Mulai ha...