Chapter XVIII: Breathe In the Air

11 1 0
                                    


Kemanapun aku melangkah pada akhirnya akan kembali ke gubuk tua. Menetap bersama cinta dan permasalahannya yang hadir dalam benak serta perasaan yang turut hadir. Aku bisa membuat air mata mengalir tanpa harus berpura-pura tegar, aku bisa menjadi diriku yang sebenarnya. Akan tetapi gubuk tua yang kumaksud itu adalah tujuanku yang belum tercapai, baru angan-angan saja. Aku melupakan seseorang dan masih mencintai seseorang, bagaimana bisa begitu ya? sungguh klisenya. 

Ayam berkokok dan sinar matahari menyinari kamarku, lalu kubuka mataku dengan perlahan. Sederhana, karena hari ini aku tidak memiliki kegiatan aku memutuskan untuk berada di kamarku selama 24 jam kedepan. Aku bangun dari kasur lalu mengambil binderku yang terletak di meja belajarku, aku membuka-buka halaman binder itu dan membaca semua tulisan-tulisanku. "Ternyata kamu tidak terlalu bodoh juga ya Rama, tetapi aku ingin bertanya kepadamu. mengapa engkau tidak bisa jauh dari salah satu pensil yang kau miliki ini? apalagi yang ini sudah mulai jelek sekali" Suara Lidah Perak yang mengomentari diriku. Ya, pensil-pensil ini sudah kumiliki dari sejak aku masih dibangku sekolah dasar dan di dalam pensil ini terasa memiliki jiwanya masing-masing kayak semacam Hocrux hahahaha.

Terlalu kalap membaca tulisan-tulisanku hingga lupa sekarang waktu sudah sore, mana belum ada rempah-rempah yang masuk ke perutku. Akhirnya aku memesan makan melalu salah satu aplikasi ternama, sesampainya makananku driver pengantar makananku ia mengetuk pintu kamarku. Kubuka pintu kamarku lalu yang kulihat wajah driver yang memakai buff dan nampak seperti perempuan, aku seperti tidak asing melihatnya. Driver itu membuka buffnya dan ternyata driver itu Freyja, aku langsung memeluknya tanpa ragu. Aku meneteskan air mata di dalam pelukan Freyja lalu setelah memeluknya aku bercakap dengan sang Dewi Kemakmuran.

"Aku merindukan sosokmu Dewi, mengapa kamu tidak pernah memberiku kabar?"

 lalu Freyja menjawab dengan senyuman "Banyak urusanku anakku, aku mendengar kabar dari cakrawala bahwa sedang ada pertempuran antara salah satu Dewa dengan dirimu. apakah benar?"

"Benar Dewi, tetapi aku tidak mengerti esensi yang ia miliki dan mengapa ia sangat sekali tertarik dengan Lidah Perak?"

Freyja kembali menjawab " Lidah Perak itu seperti anakku layaknya dirimu Rama, Gersemi. Alasanku turun kesini untuk memastikan agar dirimu tidak kehilangan Lidah Perak itu, aku akan memantau dari cakrawala jangan khawatir."

"Aku selalu ingat setiap kata-kata yang terucap dari mulutmu, dan Dewi Freyja aku ingin mengatakan bahwa aku sudah bersatu dengan Lidah Perak"

Lagi saut Freyja "Akhirnya Rama aku turut senang, karena sejatinya tidak ada yang lengkara. Kalau begitu sampai disini saja perbincangan kita, aku harus kembali keatas ada urusan yang harus aku selesaikan lagi."

Dewi itu menghilang seketika tanpa berubah wujud layaknya seperti waktu ia berubah menjadi seekor Burung Elang. "Hei ingat kata-kata Dewi Rama, kita satu raga dan jiwa hingga tidak ada yang bisa memisahkan diantara kita. Aku tidak akan meninggalkanmu dalam situasi apapun percayalah" Lidah Perak yang seketika bersorak dalam keheninganku. Pada akhirnya aku sangat senang meskipun sosok sepasang kekasih tidak ada tidak akan juga menjadi masalah bagiku untuk saat ini. 

Aku sadar meski ini sederhana, aku bahagia dengan kondisiku sekarang. Meski kebahagiaan sekarang ini tidak menjulang seperti istana yang menjulang tinggi, namun aku tenang dalam situasi dan kondisiku ini. Aku derana seperti awan-awan di langit yang berganti giliran tertiup oleh angin.



The Never End of Silver TongueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang