Chapter XXIV: Awake

12 1 0
                                    

Kami tercipta dari pemujaan dan persembahan yang disajikan oleh dewa-dewi, benarkah itu? Makhluk kasar, serakah, kelaparan, mengulurkan tangan kesana kemari, tetapi bermoral. Nakal dan bias adalah kesehariannya tidak bisa dipungkiri lagi, manusia. Kami suka dipuja dan dipuji, tetapi kami bukan dewa ataupun dewi. Mengulurkan tangan kesana kemari dengan menggunakan tangan kanan sampai mereka "manusia" tidak peka bahwa tangan kirinya menggenggam batu. 

Mengurung diri tiga hari lamanya di dalam kediamanku membuat jauh dari petaka-petaka yang terdapat di jalanan. Hari-hari yang membosankan ini menyeretku dari produktivitas, maka dari itu hari ini aku pergi dari goaku untuk pergi melintas. Ketika aku bergegas mandi ada suara yang muncul dalam benakku, ia berkata " Apa kau sudah lupa denganku Rama? sepertinya keadaanmu sudah mulai membaik sama sepertiku." Ya suara itu adalah Lidah Perak. Aku hanya tersenyum saja tanpa membalas Lidah Perak, sudahlah aku pergi mandi saja.

Pakaian sudah kukenakan dan tidak lupa membawa satu pulpen untuk menjadi orang ketiga diantara aku dan Lidah Perak. Baru saja aku memanaskan kendaraan dua roda ini Lidah Perak bersuara lagi dalam benakku "Rama aku merasa kepercayaan kita ini mulai memudar, aku menanyakan hal ini karena aku merasakan perjalanan kali ini tidak sesuai dengan ekspetasiku". Aku pun menjawab "Sepertinya bisa dikatakan seperti itu, akan tetapi apabila kamu menerimaku aku tidak pernah menanam ekspetasi", Lidah Perak tidak menyaut jawabanku.

Jalanan begitu ramai dan suara-suara manusia melontarkan ke berbagai manusia di kota pelajar ini, Sampai lupa aku hari ini ada mata kuliah yang harus aku hadiri. "Aku berekspetasi secara positif bahwa dirimu akan pergi menuju kuil belajarmu yaitu kampus. Tapi apa boleh buat, kendali hanya dilakukan olehmu" Lidah Perak dengan suara kesalnya. Pada akhirnya aku hanya menghabiskan 30 menit diluar kediamanku, aku pun memutar arah untuk kembali. Sampainya di kediamanku, aku merasakan bahwa ada beberapa yang harusku utarakan kepada Lidah Perak.

"Jawab dengan lantang, apakah aku merugikanmu sebagai manusia?" aku melontarkan pertanyaan kepada Lidah Perak.

"Ya, kalau dirimu tidak bisa percaya kepadaku buat apa Dewi memotong lidahmu dan digantikan olehku?" Lidah Perak Menyaut.

"Apa sebenarnya dirimu bisa dikatakan sebagai makhluk? karena aku benar-benar habis akal, bahwa salah satu bagian manusia mengaturku" aku bertanya dan memberikan alasan kepadanya.

"Aku berbuat sesuatu atas perintahmu, apakah kau pernah mendengar pepatah bahwa tajamnya lidah? bagaimana bisa aku bisa melarangmu. Aku digerakkan oleh pikiran yang tidak bisa merasa dan perasaan yang tidak bisa berpikir. Bedanya dengan lidah-lidah pada umumnya yang dimiliki oleh mereka "manusia" adalah aku tengah diantara pikiran dan perasaan." Lidah Perak dengan tegas mengeluarkan pernyataan.

Aku telah menyadari sifat-sifat dasar makhluk yang di spesialkan oleh dewa dan dewi. Sifat-sifat itu tidak akan pernah hilang hingga berada di setelah kehidupan ini. Bodoh sekali diriku ini selalu mengomentari hal-hal yang ada hingga lupa kalau aku manusia, aku bagaikan seekor tupai yang menjadi raja hutan. Aku kesal dengan diriku karena aku, aku menangis.


The Never End of Silver TongueTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon