[fh · 40] - a chance to feel a beauty of falling

Start from the beginning
                                    

Terkadang ia juga ikut bergabung ketika gadis itu duduk sendirian di bawah pohon pinus tua itu. Meski tidak saling mengucapkan apa pun, ia hanya ingin Fira tahu kalau dirinya masih ada di sana. Atau ketika gadis itu duduk di kafetaria kampus bersama April dan Randi. Arya akan datang, seperti kekasih lama yang baru kelihatan sekarang. Ya, setidaknya menemani Fira yang duduk di antara sepasang kekasih yang sedang lovey-dovey.

Hingga di suatu hari, setelah beberapa waktu terlewat untuk berusaha mencari jatuh yang indah, Arya memberanikan diri untuk menulis di notes tempel. Sepenggal kalimat yang telah lama ingin ia tanyakan, tetapi lagi-lagi takut berakhir penolakan.

Kamu mau kita ulang semua cerita kita lagi? Hanya ada dua pemeran utamanya, hanya kita.

Kertasnya ditempel di sebuah botol kaca. Botol yang sama yang saban hari tidak jadi diberikan sebab ia belum menceritakan soal hubungan akal-akalan. Ditempatkan di laci meja Fira. Lantas setelahnya menunggu jawaban dengan degup yang kian berpesta pora.

Arya Alvaro menunggu si bawah pohon pinus tua yang menjulang itu. Seorang diri saja. Menatap kolam ikan berganggang itu dengan kegugupan yang terus melanda. Jadi, ketika sepasang langkah mengayun mendekat, menjejaki rumput pelan-pelan, Arya menahan napasnya.

Mereka sudah bersemuka, hanya berjarak tiga langkah saja. Arya juga melihat kalau gadis itu juga membawa notes tempel berwarna merah muda yang tentu saja Arya ingat untuk ditempel di permukaan botol itu. Ia mencoba membaca apa sekiranya jawaban yang akan diberikan Fira melalui tatapan mata. Namun, tidak ada riak emosi apa pun.

Notes tempel disodorkan. Tangannya mengambang sebentar sementara Arya agak ragu meraih. Pada akhirnya, benda merah muda itu berpindah tangan. Lipatannya dibuka. Di bagian paling bawah, ada tulisan tangan berbeda. Tinta hitamnya agak luntur, barangkali terburu-buru kertasnya dilipat sementara tinta belum juga kering.

Namun, satu kata yang terlalu singkat itu nyatanya dengan cepat mengusir gugup. Terlampau cepat membawa ulas senyum bahagia. Dua pasang mata bersirobok lagi, sedang saling melempar tatap yang terkesan riang dan malu-malu.

Di notes itu tertulis, Ya.

***

Gerimis menyapa kaca-kaca jendela besar kafe itu ketika seorang laki-laki muda membuka pintu. Bel berdenting dua kali, seolah hendak memecah gamang yang mendadak menghampiri dada.

Pandangannya menyisir ke penjuru kafe yang hampir tiap mejanya terisi. Arya hampir linglung, tetapi ketika seulas senyum merekah menyapanya dari meja yang tepat berada di tengah-tengah, ia diam-diam menghela napas lega. Langkah diayun lagi, pelan tapi pasti. Arya menarik kursi dan duduk di depan seorang pria paruh baya yang masih mengenakan setelan kemeja lengkap dengan jas dan dasinya.

"Kamu tadi kehujanan, nggak? Mau pesan apa?"

Arya bahkan belum sempat membalas ketika pria itu sudah lebih dulu memanggil seorang pelayan dan memesankan cappuchino hangat dan sepiring kue pie madu.

"Kamu beneran seserius itu sama anak saya?"

Arya mendongak pelan setelah beberapa saat menunduk, menatapi meja bundar dari rotan itu. Inilah pertanyaan yang memang seharusnya memulai pertemuan tak direncanakan ini. Kemarin malam, sesaat baru saja pulang dari kelas terakhirnya, Arya mendapat panggilan dari Randi. Ia bilang, Nugroho, ayahnya sekaligus juga ayah Fira ingin bertemu di kafe tempat Randi bekerja. Laki-laki itu mengiyakan saja meski ia tidak menyiapkan apa pun untuk macam-macam pertanyaan yang barangkali telah mampir di kepala jauh hari.

"Enggak, enggak. Saya nggak maksa kamu buat nikahin dia sekarang. Soal itu, kan, kalian sendiri yang menentukan." Padahal Arya belum juga melontarkan ucap apa pun. Barangkali matanya terlalu banyak menampung gamang yang sampai berlimpah-limpah. "Maksud saya di sini, apa kamu bisa pastikan kejadian dahulu nggak terulang? Ada banyak hal yang saya tinggalkan, saya nggak mau Rara sedih-sedih terus."

"Saya nggak bisa menjanjikan apa pun, Om." Arya berhenti berucap ketika secangkir cappuchino hangat tersuguh bersama sepiring pie yang madunya meleleh ke sana-kemari. "Yang saya tau, saya menyayangi Fira. Tapi saya rasa itu nggak akan cukup karena sebuah hubungan nggak akan pernah ada yang berjalan mulus."

Dari cara pandang Nugroho terhadapnya, Arya sama sekali tidak merasa sedang diadili atau diintimidasi. Ia seolah sedang berbicara dengan sosok ayah yang mendengarkan curahan hati putranya. Arya merasa nyaman.

"Satu hal yang paling sulit sebenarnya adalah mencari restu orang tua. Semuanya terjadi karena orang tua saya nggak terlalu suka hubungan ini. Jadi ...."

"Kalau kamu memang sesayang itu sama anak saya, ada banyak cara untuk melaluinya, Nak." Senyum hangat terulas pelan-pelan. Secangkir teh chamomile yang asapnya masih mengepul-epul disesap. Pria itu juga berisyarat agar Arya segera menikmati cappochino-nya.

"Om ... Om ngerestuin saya menjalin hubungan sama Fira?"

"Kalau kamu sungguh-sungguh sama ucapan kamu, kenapa enggak? Tapi saya belum kasih restu sepenuhnya kalau masih ada masalah yang belum diselesaikan, Arya."

Laki-laki muda itu mengembuskan napas palan. "Papa," lirihnya sembari mengalihkan pandangan pada ubin kayu. Singkat saja. Lantas ia menatap lagi sepasang mata tegas milik seseorang di depannya. "Kalau saya minta izin untuk bawa Fira, Om bolehkan?"

Di hampir penghujung bulan itu, di sore yang telah gelap akibat gumpalan awan keabu-abuan, berniat menjemput malam melalui senja yang hampir datang, Arya baru sadar akan satu hal. Tidak akan ada cinta yang bertahan lama tanpa restu semesta. Jadi, ketika seulas senyum teduh kembali tampak bersama anggukan pelan nan meyakinkan, Arya bertekad membuat semesta memberi restu sebanyak-banyaknya.

***

[ to be continue ]

--[02/09/21; 23.40]--
--[12/09/21]--

...

Hampir mendekati ending, nih. Apa harapan kalian untuk endingnya nanti?
Hmm...

Terima kasih. Rasanya aku nggak akan bosan berterima kasih, ya. Jangan lupa jaga kesehatan! ♡

Forever Hours [ completed ]Where stories live. Discover now