[fh · 12] - rain on us, love is in the air

59 11 0
                                    

Tak terlalu mencengangkan mengingat hujan teguh mengambil peran dalam tiap-tiap lembar cerita. Seolah semesta telah mengancang suasana yang tepat untuk insan bersuka duka.

***

Pertengahan Oktober, 2021.

"Aku ada kelas tambahan, Ra. Kayaknya bakal pulang sore banget." Suara di seberang telepon terdengar kecewa sekaligus lelah, tetapi pada akhirnya tetap juga berakhir pasrah.

Fira memindahkan ponsel dari telinga kanannya ke telinga kiri; berdiri dengan tatapan kosong di teras keramik Fakultas Teknik. Lantai yang dekat dengan paving block persegi panjang tersusun miring-miring sesekali terkena cipratan air yang jatuh terlalu tergesa-gesa dari langit. Setelah awan bertahan bergulung-gulung seharian dan angin yang bersitahan bertiup dingin, di siang itu hujan menjatuhkan diri ke bumi dengan intensitas cukup besar. Seolah memberi isyarat takkan reda dalam waktu dekat.

"Hujannya juga deras. Keluar kelas aja kayaknya susah." April mendesah lagi di sana. "Kamu langsung mau pulang atau mau nunggu aku aja?"

Manik kecoklatannya itu menengadah. Rintik hujan terlalu besar jatuh berdebam. Ia melihat beberapa mahasiswa keras kepala menembus hujan dengan payung tak seberapa besar. Beberapa lainnya memilih melakukan hal yang sama dengan Fira; menunggu redanya tangisan langit yang entah kapan berakhir.

"Kalau sore banget, ya, enggak, lah, April. Mungkin sampe hujannya reda dikit aja. Aku pulang duluan, nggak masalah, kan?"

"Nggak masalah, lah!" Suara April agak berjengit di ujung kalimat. Fira juga mendengar grasak-grusuk melalui telepon. "Oke, Ra. Kalau mau pulang duluan, pulang aja. Aku tutup dulu, ya. Dosennya dateng. Daaahh!"

Sambungan terputus sebelum ia sempat membalas. Fira menghela napas sambil menyimpan ponselnya di saku jaket cokelat mudanya. Menatap hujan yang betah menghantam bumi, malah kian membabi buta. Beberapa mahasiswa di sekitarnya mendesah kecewa lantas memilih untuk kembali masuk ke dalam gedung.

Gadis itu memeluk dirinya sendiri. Melangkah mundur perlahan hingga punggungnya tepat menyentuh dinding gedung. Tempias air mulai merajarela menyiprat dimana-mana.

Melihat langit yang sepertinya menangis dengan amukan angin begini, rasanya juga percuma mencoba menembus hujan dengan payung. Tiupan angin bisa saja membuat titik-titik air tetap mengenai tubuh atau bahkan bisa saja langsung menerbangkan payungnya sekalian. Lagipula, Fira juga tidak punya payung yang bisa digunakan.

"Kamu yakin bakal nembus hujan yang segini lebatnya?"

Suara bariton mengetuk gendang telinga di sela-sela debam hujan yang menjatuhkan diri ke bumi. Fira menoleh ke kanan dan mendapati lelaki ber-hoodie putih dengan motif garis-garis hitam melingkar di bagian dada. Randi Gunadhya, lelaki yang lebih tinggi dari Fira itu mengulum senyumnya.

Fira menggeleng pelan, lantas kembali lagi menatap lurus. Sejak pameran minggu lalu, Randi seolah selalu berada di sekitar dirinya dan April. Ah, tidak, tidak; yang lebih tepat di sekitar Fira saja. Seperti saat ini. Gadis itu tak mengerti, apa setiap lelaki punya jiwa-jiwa penguntit?

"Kalau hujannya agak reda, kamu mau aku anterin pulang? Kebetulan aku bawa mobil." Randi merogoh-rogoh ras hitam yang sedari tadi ia sandang. Fira memerhatikan saja. "Aku juga bawa payung." Lantas payung lipat berwarna biru tua terangkat agak tinggi, lelaki itu tersenyum hingga kedua matanya menyipit. "Oh iya. Rumah kamu emangnya di mana?"

Langit bergemuruh, tetapi hujan malah mereda sedikit. Gadis berjaket coklat itu menoleh pada Randi lagi, mengulas seutas senyum. Tidak enak juga mengabaikan orang yang berniat baik. "Aku tinggal di asrama, kok. Nggak jauh, nggak perlu dianter juga. Tapi, makasih tawarannya."

Forever Hours [ completed ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang