[fh · 38] - a truth about how can't i live without you

47 10 1
                                    

April, 2022.

Ketika pertama kali bersemuka dengan gadis bernama Laura Cecilia--di hari ketika langit yang cerah terlampau cepat berubah mendung, serta momen saat kamboja yang rajin ia siangi dan sirami ternyata berakhir mati--Fira tidak membenci atau berpikir akan bersikap antipati kepadanya.

Tidak pula di hari itu kala akhirnya ia menampakkan diri, melangkah terlampau anggun di atas rerumputan menuju satu-satunya pohon pinus yang umurnya sudah tua. Setelah sekian lama gosip tak mengenakkan tentang Fira menyebar, gadis setengah Eropa itu menggentaskan untuk duduk bersila bersama Arya dan Fira yang hampir perang dingin di depan kolam ikan yang ganggang hijaunya tak pernah dibersihkan.

Mengingat apa saja yang telah Fira lewati, ia berhak untuk marah, benci, atau mengobarkan macam-macam emosi yang menggerogoti sebab janji yang berakhir teringkari. Kalau dipikir, Laura berhak menerima amarah Fira karena gadis itu telah merebut seseorang yang selama ini ia tunggu. Namun, ia tidak melakukannya. Masih punya pikiran jernih kalau sebenarnya Laura hanya tidak tahu saja jika Arya memang sudah punya.

Kalau begitu, seharusnya pun Zhafira membenci dan memupuk banyak amarah di pot kambojanya yang hampir mati itu. Untuk Arya yang terlalu banyak memberi obat pembasmi hama pada tanaman mereka. Namun, ternyata, berapa kali pun Fira mencoba, ia tetap tak bisa.

Ia tahu jika sebuah tanaman mati, akarnya akan tetap hidup jika potnya masih rajin disiram dan diberi pupuk. Fira memang tidak melakukan keduanya, tetapi ia menaruh satu pot kamboja itu di bawah sudut atap rumah yang jikalau hujan datang, airnya pasti langsung jatuh dalam pot. Di sana Fira baru menyadari, membiarkannya malah membuat tunas kamboja tumbuh kembali.

"Maaf, semoga aku nggak terlalu ganggu, ya," katanya setelah memberi tawa canggung. "Tapi, banyak hal yang mau aku omongin sama kamu, Ra."

Laura duduk di tempat yang semulanya terdapat Randi dan April. Entah ke mana dua insan itu pergi. Sepertinya tidak mau ikut campur lebih dalam lagi ketika Arya dan Fira memilih saling mendiamkan setelah argumen yang menguras kepala juga hampir meretakkan hati yang telah rusak.

Tidak ada sahutan apa pun. Punya niat, tetapi barangkali mulut lebih memilih untuk tetap terkunci saja. Fira dan Arya serempak memberi jenis tatap dengan manik yang berkilat sama; hampir putus asa dan dipenuhi kecewa.

Gadis berambut hazelnut itu mengembuskan napas panjang bersamaan dengan angin yang bertiup sepoi-sepoi. Harinya memang cerah, tetapi hampir mustahil melihat langitnya biru. Terlampau banyak awan yang tak bersedia berlalu.

"Kamu tau, Ra. Dari London sana, sebenarnya aku udah nyiapin diri untuk menghadapi kemarahan atau tamparan dari kamu." Laura tersenyum; tipis, tetapi tulus. Kedua lututnya menekuk, ia ikut memandangi juga kolam ikan berganggang hijau itu. "Tapi ternyata nggak ada satu pun skenario dalam kepalaku yang terealisasikan. Di situ aku berpikir, lebih sakit ngeliat seseorang pergi tanpa melakukan apa pun."

Fira menoleh, ruang di antara dahinya berkerut dalam. Apakah Arya benar-benar menceritakan dirinya kepada Laura? Lebih dari itu, ia tidak nyaman duduk di antara sepasang kekasih ini. Masih tempat umum, terjangkau mata para mahasiswa yang masih berspekulasi terus-menerus kalau dirinya sedang berusaha merusak hubungan orang lain.

"Arya belum cerita?" Laura agak menyentak. Dahinya ikut berkerut, terkejut juga di saat bersamaan. Ia melirik satu-satu lelaki yang duduk di sana; masih diam, menunduk dengan pandangan kosong. "Aku pikir selama aku nggak masuk, terus dia juga ngejer kamu, Arya udah ceritain semuanya."

Zhafira sejujurnya makin tidak mengerti. Alisnya makin menyatu, tetapi tetap saja tak ada jawaban apa pun yang ditemui. "Kak Laura tau kalau Arya deketin aku lagi, tapi ...."

Forever Hours [ completed ]Where stories live. Discover now