[fh · 40] - a chance to feel a beauty of falling

Comincia dall'inizio
                                    

"Aku ...," Arya berdeham, "aku mau nganterin kamu ke butik." Napasnya tercekat. Ketika sepasang mata menatapnya agak kebingungan, Arya menahan napas.

"Nggak usah, Ya." Kontak mata diputus cepat. Seperti sengaja. Fira malah beralih merogoh ransel putihnya, entah mencari apa. "Randi yang bakal nganterin. Katanya dia mau jemput."

"Randi baru aja bilang kalau dia ada ...." Sekiranya apa pendalihan yang cocok selain memberitahu kejujuran yang agak mengesalkan? "Ada tugas kelompok sama temennya." Laki-laki itu membubuhkan anggukan beberapa kali. Tidak buruk juga. Setelah ini Arya dan Randi harus saling berterima kasih karena telah saling membantu. "Jadi dia minta aku aja yang anterin kamu."

"Oh, gitu?" Lagi, sepasang manik kecokelatan itu menatap, ada binar keheranan yang berkilat. "Kok Randi nggak ada bilang, ya?"

"Kayaknya dia buru-buru." Arya mengatupkan bibir. Ia tahu jika Fira pasti tidak ingin diantar olehnya. Sangat terlihat ketika gadis itu terus-menerus memutus kontak mata. Sekarang ia beralih pada gawai yang layarnya menunjukkan aplikasi pemanggil. "Kamu mau, kan, kalau aku yang anterin?"

Benda pipih persegi itu berakhir diabaikan ketika layarnya meredup. Angin bertiup menerbangkan anak-anak rambut yang tidak terikat. Arya seperti dibawa kembali pada masa sewaktu pertama kali memberi setangkup kamboja merah muda.

Gadis berkucir itu mendongak. Meski tak ada ucap yang terlisankan, matanya seolah sedang mencari-cari jawab yang entah apa. Pada akhirnya, Fira mengangguk, agak kaku. Arya tersenyum diam-diam ketika langkah-langkah dijejaki.

***

Perjalanan memang baru dilalui sebentar saja. Sepuluh menit yang rasanya sangat-sangat canggung dan terlalu banyak memangku dingin yang datangnya entah dari mana. Padahal, Arya tahu sendiri jika suhu AC mobilnya tidak terlalu rendah, pun fatamorgana di jalanan menandakan kalau udara sedang cukup gerah.

Gawai di dasbor mobilnya mendadak berdering. Irama yang pastinya terlalu familier untuk kedua insan yang masih bersitahan saling memangku bisu itu. Arya dan Fira bersitatap singkat sebelum akhirnya saling membuang muka.

Laki-laki itu mengambil ponselnya yang belum juga berhenti berdering ketika lampu lalu lintas mendadak berubah merah. Laju mobil dipelankan, berhenti tak lama kemudian.

Gawai diangsurkan dekat telinga, Arya mendengarkan saja. Dari ujung mata pun, laki-laki itu tahu jika ada sepasang mata yang sedang mencuri satu dua lirikan untuk mencari tahu. Panggilan terputus ketika lampu lalu lintas berganti hijau lagi dan klakson macam-macam kendaraan mendadak mengisi udara. Mobil bergerak lagi, pelan lalu berada di kecepatan rata-rata. Sengaja agar perjalanan mereka sedikit lama.

"Kamu masih pake lagu itu, Ya."

Arya menoleh sebentar, lalu beralih lagi pada jalanan yang tidak terlalu ramai. Ia mengernyit sebab tidak mengerti apakah sepenggal kalimat itu adalah tanya atau pernyataan.

"Kamu sendiri?"

"Enggak," jawabnya terlalu cepat. Arya dibuat agak sedikit nyeri di dada kirinya. "Tapi kadang accidently aku masih sering denger."

"Accidently, hmm."

Laki-laki itu menelan ludah susah payah. Sesekali berusaha melirik Fira yang duduk di sampingnya. Air mukanya hampir tak beriak, berpandangan lurus ke jalanan yang setengah kosong, tetapi binar di matanya sedang berucap kalau ada sakit yang sedang berusaha ditahan. Arya yang sekarang malah merasa bersalah.

"Aku hampir berhenti denger ketika kamu nggak ada kabar selama kuliah di sana."

Arya meringis. Genggaman pada setir mobilnya sedikit mengetat. Laki-laki itu mengembuskan napas pelan. "Maaf, Zhafira."

Forever Hours [ completed ]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora