"Maaf ya, ayah lama."

Ryn membuang pandangannya, "huh," rajuknya.

Zuan terkekeh kecil, melihat tingkah putranya itu. Ia berlutut, menyamakan tingginya dengan Ryn.

"Jangan ngambek dong," bujuk Zuan sambil menowel - nowel tangan Ryn.

"Ryn udah nunggu lama," kesalnya.

"Iya, iya, Ayah salah. Maaf ya."

Ryn tetap bertahan, tak terbujuk.

"Trus mama mana? Kenapa papa yang jemput?" tanyanya masih kesal.

"Kenapa? Ngak suka dijemput sama papa?"

Ryn tidak menjawab, ia hanya melipat tangannya ke dada, masih kesal.

"Yaudah, yaudah. Yuk pulang."

Zuan menggenggam tangan Ryn, mengajaknya ke mobil. Mereka segera berangkat, kembali menuju ke rumah sakit.

Sesampainya di sana. "Kok kita ke sini?" tanya Ryn bingung. Zuan tersenyum, kemudian mengelus kepala Ryn lembut.

"Turun dulu yuk."

Zuan menggenggam tangan Ryn lagi, kemudian berjalan masuk. Mereka menuju ruangan Lanara.

Dibukanya pintu, dan masuk ke dalam ruangan itu. Ryn dibuat bingung, mendapati Sarah dan kedua kakaknya juga ada di sana.

"Mama?" panggilnya.

Sarah beranjak, menghampiri Ryn.

"Udah pulang sayang?" Sarah menggenggam bahu Ryn, dan Ryn mengangguk.

Zeylan yang sedari tadi hanya duduk di sofa, dan terus melihat ke arah Lanara. Teralihkan dengan kedatangan Ryn dan Zuan.

Zuan mendekati Zeylan, ikut duduk di sampingnya. "Kamu tadi kemana?" tanya Zuan pelan, namun pandangannya melihat ke arah Lanara.

Zeylan menghela nafas, kemudian mulai menjawab, "Ke kafe pa, nemuin orang yang buat Lanara kayak gini."

Zuan langsung menanatap Zeylan. "Siapa?"

"Percuma, papa juga ngak kenal."

Zeylan menatap mata Zuan, mata mereka beradu.

"Tapi papa tenang aja, ngak sampai mati kok," ucapnya sedikit sendu.

Zuan tak bisa lagi berkata-kata, ia tak tau apa yang putranya rasakan. Tapi ia bisa memahami bagaimana rasanya. Yaitu rasa yang pasti sangat melelahkan.

Zuan membuang pandangannya, bahkan segera beranjak. Ia tak sanggup untuk berhadapan dengan Zeylan. Bahkan setelah 2 tahun berlalu.

Disisi lain, Gemya berjalan pelan, ia pulang. Wajahnya sembab, tatapannya kosong. Seperti mayat hidup katanya.

Sampai, terdengar notif chat dari handphonenya. Di ambilnya handphone yang ada di sakunya, mengecek notif yang baru saja masuk. Dan tertulis nama Keyri di sana. Ia terdiam, dan hanya memandangi layar handphonenya itu.

Pandangannya terbuang ke berbagai arah, mengalihkan pikiran yang kian kusut. Tak dibukannya notif itu, dan kembali menyimpan handphonenya ke saku celana. Kemudian melanjutkan langkahnya pergi.

Bagai hujan yang tak kian henti, notif itu kembali lagi, lagi dan lagi. Bahkan kini dering telpon yang menghentikan langkah kakinya, membuat Gemya menyerah.

"Halo."

"Lo dimanasih, dari tadi gue chat juga," oceh Keyri dari balik telpon.

"Gue lagi di jalan."

"Ck, cepetan ke kafe," perintahnya seenaknya. Namun Gemya tak segera menjawab. Ia terdiam sesaat baru mulai bicara lagi.

"Key?" panggil Gemya, suaranya parau.

"Gue ngak bisa lagi," lanjutnya

"Ha? Apaan si..."

Tuut

Telpon itu terputus, Gemya yang mengakhirinya. Dan ia langsung mematikan handphonenya, kemudian menyimpannya lagi ke saku celana.

Membuat Keyri yang kembali menelpon Gemya, merasa kesal mendapati nomor Gemya sudah tak aktif lagi.

"Ck, ni anak kenapa sih," gerutunya. Hari ini benar-benar hari yang menyebalkan bagi Keyri, ia terus mendengus kesal.

Kembali ke rumah sakit, Ryn terduduk di pangkuan Sarah menatap ke arah Lanara teduh.

"Kak Lanara sakit gara-gara Ryn ya ma?"

Sarah tersenyum tipis, memahami perasaan putranya itu.

"Ngak sayang. Kak Lanaranya cuma kecapean aja." Ryn menoleh ke Sarah.

"Beneran?"

Sarah mengangguk mengiyakan. Sedangkan Zeylan, hanya diam dan memperhatikan mereka berdua.

Dan tanpa terasa, hari mulai gelap. Zuan dan Sarah segera kembali ke rumah untuk mengambil perlengkapan. Sedangkan di rumah sakit ada Zeylan dan Ryn yang berjaga.

Zeylan membantu Ryn mengerjakan tugas rumahnya. Mengajari adiknya itu, untuk soal-soal yang ia tak pahami. Sampai tanpa mereka sadari, Lanara mulai tersadar.

"Mah ... " lirihnya tapi tak terdengar oleh siapapun.

Setetes air mata jatuh dari sudut matanya, yang masih terpejam.

"Ampun mah," gumamnya tapi tak jelas.

Ryn yang sedang fokus teralihkan, di liriknya ke arah Lanara.

"Kenapa?" tanya Zeylan.

"Kak Lanara udah bangun ya?"

Zeylan menoleh, melihat ke Lanara. Namun Gadis itu terlihat masih tertidur.

"Belum," jawab Zeylan.

Ryn menatap Zeylan bingung, iya yakin mendengar sesuatu tadi. Ditatapnya lagi ke arah Lanara. Memperhatikan dengan fokus, ke arah kakak tirinya itu.

"Udah kerjain tugasnya," tegur Zeylan.

"Tapi ... " ia terhenti, kemudian mengalah dan kembali fokus pada tugasnya.

.
.
.

Lanara terbangun dari tidurnya. Tangisan Lyli membuatnya tak bisa tidur lagi. Lyli adiknya yang saat itu baru berusia 4 bulan. Terus saja menangis, tak henti-henti. Mungkin ibunya tak memberikan adiknya asi lagi.

Lanara turun dari kasur, kaki kecilnya berjalan keluar kamar. Di intipnya ke kamar ibunya, namun tidak ada siapapun di sana. Dan tangisan Lyli juga perlahan memudar.

Flass...

Itu suara air yang tumpah, dan datangnya dari arah kamar mandi. Tempat biasa ibunya menyiksanya, dengan mencelupkan kepalanya ke dalam bak.

Ia berjalan pelan, sedikit takut, namun tetap mendekat ke arah kamar mandi.

Dan di sana, Lanara yang berusia 5 tahun, harus melihat ibunya melakukan hal yang sama ke Lyli. Menenggelamkan adiknya itu ke dalam bak.

"Mah ... ?" panggilnya gemetar.

Milikku Zeylan Where stories live. Discover now