Sagitarius - Racun

1.8K 427 70
                                    

Aku baru selesai live streaming ketika pesan dalam group chat muncul. Hanya ada dua kata tapi cukup membuat jantungku berdebar lebih cepat. Hallo, Guys. Begitu isinya. Dikirim oleh Vishal.

Astaga, kayaknya dia emang semangat banget. Sejak seminggu lalu, tepatnya sejak aku setuju, Vishal sangat aktif di grup. Menyusun rundown, meminta pendapat, dan mengatur pertemuan kami. Dulu jangankan spam di group. Jadi silent reader saja sudah kemajuan.

Vishal Prasasti A.
As inform ya. Lusa, jam 4 sore, di apart abang gue

Bro @Kastara makanan jangan lupa

Cc @Sagita @Milan Bagaskara

Thanks.

Rasanya masih aneh dan awkward. Kami sudah lama lost contact lalu tiba-tiba akan reuni. Nggak kebayang bakal gimana. Lagipula kami juga belum bertukar pesan secara personal. Pada Milan aku masih segan, sementara pada si Motindo pun aku nggak sudi. Najis!

Gerakan jariku yang hendak merespons obrolan grup terjeda. Aku mendengar suara. Dan benar saja, ketika aku mendongak ke ruang depan (btw aku lagi di tengah), pintu masuk tampak terbuka. Membawa lelaki yang bikin bahuku agak merosot.

Wajah kesal itu ... Huft. Kali ini apa lagi yang dipermasalahin Gibran?

“Mau ke mana lo malam-malam full make up begitu?” Dia bertanya setelah berdiri di sampingku. Yang sialnya lagi, ucapan sampah yang satu ini membuat jantungku berdebar dua kali lipat.

“Nggak ke mana-mana. Baru beres live.”

“Nggak usah bohong!” Setelah mengatakannya, Gibran mencengkeram daguku. Jempol kukunya menancap sempurna. Aku meringis bahkan refleks melepas ponsel hingga benda pipih itu terjun ke lantai.

Jangan muka, tolong. Jangan. Aku ingin berteriak. Wajahku adalah aset.

“Sakiiit,” rintihku seraya berusaha berkelit. Kucengkeram balik tangannya, kugerakkan wajah agak bisa lepas. Alih-alih berhenti, dia malah semakin menjadi. Entah kenapa tenaganya kuat sekali. Aku gagal melepas diri. “Sakit, Gibran!”

“Jawab dulu! Lo mau ke mana dan pergi sama siapa?” Gibran memandangku dengan bengis. Kedua alisnya memusat ke jidat. Matanya menghunus galak.

Daguku semakin terasa ditekan. Air mata nggak bisa kucegah. Mereka berkumpul di pelupuk. Bukannya berhenti, Gibran semakin menusukkan kuku jempolnya di daguku. Ah, sakit sekali!

“Sakit?” tanyanya. “Mohon ampun dulu, baru gue lepas.”

Aku kembali meringis. Air mata jatuh setetes. Aku memang merasa terluka atas perlakuannya, tapi aku jauh lebih benci diriku yang nggak bisa melawan. Jeratan Gibran terlalu kuat. Aku nggak bisa lepas.

“Am ... pun. Ampun, Gibran.”

Aku berujar dengan harga diri terkoyak. Lelaki di hadapanku melepas cengkeraman. Matanya tetap bengis.

Gibran menghempasku ke sofa. Kudapati cairan merah ketika menyeka dagu. Lagi-lagi luka baru. Rintihku sambil meringis. Berengsek! Bagaimana kalau lukanya nggak hilang?!

“Sekarang jawab! Lo mau ke mana?”

“Berapa kali harus dibilang? Nggak pergi! Aku baru selesai live!”

Dia menoyor kepalaku. Dengan suara kesal, ia berkata, “Nggak usah teriak kalau ngomong sama gue, Njing!”

Dadaku bergemuruh didesak marah dan luka. Nggak bisa kucegah lagi air mata pun terjun bebas. Tetesannya mengalir ke dagu. Laksana ditebas pedang, lukaku semakin perih. Rasa sakitnya membuat kepalaku berdenyut.

They Did ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang