V •Terlalu sulit berdamai dengan hati dan keadaan•

Mulai dari awal
                                    

     Langkah kaki Reyga benar-benar bergerak pergi meninggalkan meja makan. Suasana hatinya tiba-tiba buruk pagi ini. Bukannya mendapatkan sambutan hangat, malah sudah di kejutkan oleh hal yang sama sekali tak masuk akal.

     "Aku juga mau berangkat, ada piket kelas." celetu Aubrey yang ikut meninggalkan meja makan yang kini hanya sisa Adli dan Anak sulungnya.

     "Gara-gara Anak sialan itu, Rey jadi begini!" Adli menggeram.

     Melihat Ayahnya yang terdiam dan nampak menahan emosi, Alan mencoba meyakinkan hati sang Ayah. "Papa tenang aja, Rey gak akan berani melangkah lebih jauh lagi, Pa."

•••

     Pagi ini lagi-lagi ada perdebatan kecil antara Bima dan Regi, hanya karena Bima yang menentang lelaki itu masuk sekolah hari ini—melihat kondisi Regi yang belum sepenuhnya baik.

     Kata Ayahnya, Regi harus banyak rehat. Lelaki itu terlalu memforsir tubuhnya. Tetapi, bukan Regi namanya kalau tidak keras kepala dan tetap teguh akan pendiriannya.

     "Ngak usah ngeyel, Gi! Kata Papa lo harus rehat sebentar!" Bima menahan tubuh Regi yang hendak memakai seragam sekolah, melempar seragam itu ke sembarang tempat.

     Kedua mata Regi menatap sedikit jengkel atas perbuatan Bima—kembali meraih seragam itu dan memakainya.

    "Gua bukan cowok lemah, apalagi tipe yang nyusahin orang. Gua kalau udah merasa sehat ya berarti gua udah baik-baik aja. See? Lo liat wajah gua pucet? Badan gua panas? Ngak, kan? Ngak usah terlalu khawatirin gua."

     "Serah lo, Gi. Mau gua ngomong gimanapun lo tetep keras kepala."

     Bima memilih untuk mengalah dan  meninggalkan Regi. Sedangkan Regi sendiri tampak acuh tak acuh.

     Karena ia tahu, Bima itu tipikal orang yang ngak akan mendiamkan saudaranya sampai berlarut-larut. Butuh waktu untuk Bima bisa berdamai dengan hatinya sendiri.

     Melihat Anaknya yang keluar dengan raut masam, Nara masuk ke kamar dan menatap Regi penuh tanya.

     "Lho, lho, kamu kok sudah mau sekolah? Emang sudah ngak apa-apa?"

     "Iya, Bunda... Regi udah aman," jawabnya dengan senyuman.

     Nara mengangguk, berjalan mendekati Regi dan memasangkan dasi anak itu. Membuat Regi terdiam menatap wanita paruh baya itu penuh sayang.

     "Kalian kenapa? Berantem lagi?"

     "Masalah kecil, Bun, nanti juga baik sendiri orangnya." Regi menjawab.

     Melihat hal-hal kecil seperti ini, kembali mengingatkan Nara pada masa kecil Bima dan Regi. Dimana Bima mempunyai sifat pemarah dan Regi yang mempunyai sifat keras kepala.

     Mereka berdua selalu berbeda pendapat dan bertolak belakang, entah itu dalam pelajaran maupun menjalankan sebuah permainan.

     Tapi, tak hanya di situ saja, Nara baru menyadari satu hal jika Anaknya—Bima, diam-diam menaruh kekhawatiran dan kepedulian besar terhadap Regi.

Another Pain [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang