Prolog

88.8K 5.1K 65
                                    

"Pak Dika bagaimana soal karyawan baru yang saya tunjukkan tadi pagi?" Tanya Kania— seorang HRD

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


"Pak Dika bagaimana soal karyawan baru yang saya tunjukkan tadi pagi?" Tanya Kania— seorang HRD.

"Lulusan pariwisata kok mau melamar di sini? Ini serius?" Tanya Radika sedikit heran.

"Iya, Pak. Kalau soal penampilan sangat rapi, nilai juga tidak buruk. Saya rasa kita bisa mencobanya." Jelas Kania

Radika mengangguk-angguk, membaca biodata karyawan baru bernama Elsa Letashia. Lulusan pariwisata di salah satu kampus ternama di Yogyakarta, umurnya 24 tahun. Pengalaman kerja satu tahun bekerja di biro perjalanan wisata.

"Okay, kamu atur. Kamu sudah wawancara?"

"Sudah Pak, jawabannya sangat cerdas. Saat saya tanya apa yang bisa kamu berikan untuk kafe ini, jawaban dia, siap memajukan kafe ini melalui marketing yang nantinya akan Elsa berikan untuk kita. Dia juga siap belajar dari awal, mau bekerjasama dengan karyawan lain." jelas Kinan

Radika mengangguk-angguk, ia suka dengan jawaban lugas karyawan barunya. Sudah satu minggu Radika membuka lowongan kerja di kafenya sebagai pelayan, ia kekurangan pekerja karena ada dua orang harus resign.

"Bagus deh, kalau bisa langsung kerja besok atau lusa ya, Nan. Tahu sendiri kita benar-benar kekurangan karyawan." ucap Radika

"Iya, Pak. Kalau begitu saya permisi ..."

"Silakan ..." balas Radika

Namanya Radika Pervaiz umur 30 tahun seorang pengusaha kafetaria yang sudah ia bangun sejak umur 25 tahun, berawal dari meminta uang pada orang tuanya untuk membangun usaha sampai akhirnya ia bisa sukses sampai hari ini. Tentu saja perjalanannya tak selalu mulus, kafenya pernah dibakar karena persaingan bisnis, kafenya pernah sepi karena marketing yang mereka lakukan kurang memuaskan. Kini ia sudah memiliki 20 gerai kafe yang terbagi dibeberapa kota, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Bali.

Ia memang terlahir dari keluarga berada, papanya seorang pengusaha kelapa sawit dan mamanya adalah pemilik toko perhiasan di salah satu mal terkenal di Jakarta. Meskipun keluarganya kaya, tapi Radika tidak mau terus-menerus menikmati kekayaan orang tuanya. Ia seorang anak tunggal. Radika tidak mau melanjutkan perusahaan milik papanya karena menurutnya terlalu rumit.

"Pak Dika mau buat kopi?" tanya Alex— barista di kafe Radika.

"Iya Lex, tumben hari ini ngantuk banget." jawab Radika. Alex sempat menawarkan diri membantu Radika membuat kopi, sayangnya kali ini Radika ingin membuat sendiri.

Cuaca yang panas di Jakarta, Radika memutuskan membuat kopi Pokat salah satu menu minuman khas kafe miliknya. Kopi Pokat  adalah menu yang terbuat dari espresso yang dipadupadankan dengan krim cokelat dan alpukat.

"Saya mau ke bank, terus mau nganter mama ke rumah temannya. Saya nggak balik lagi ke sini. Kalau ada apa-apa kalian bisa telepon, chat saya." ucap Radika pada beberapa karyawannya lalu beranjak melangkah mencari tempat duduk. Keadaan kafe cukup ramai hari ini.

***

Lelah dilatih rindu itu yang Elsa rasakan, ia rindu keluarganya berkumpul bersama. Di rumah sebagai tempat paling nyaman untuk mereka, sayangnya keluarga sudah tidak ada lagi. Orang tuanya meninggal karena kecelakaan yang dialami, memiliki kakak seorang pengacara tapi sudah menikah lalu tinggal di Singapura. Elsa hidup sendiri di apartemen yang ia sewa selama satu tahun belakangan.

"Gimana wawancara hari ini?" tanya Abian— sahabat Elsa.

"Ya, gitu-gitu aja sih ..." jawab Elsa sembari menikmati cemilan.

"Kamu yakin Sa?" Loli ikut menyahut diantara keduanya.

"Kalian meremehkan seorang Elsa?" Elsa menatap keduanya secara bergantian.

"Nggak sih, cuman ..." Loli menghentikan ucapannya. Padahal masih banyak peluang untuk Elsa bekerja sesuai dengan jurusan saat kuliah tapi sahabatnya memilih jalan lain, "Kamu anak pariwisata Sa, masa jadi pelayan kafe?"

"Yang penting halal kan?"

"Halal kok Sa, halal banget." sahut Abian

"Jadi nggak salah kan? Aku capek kerja di biro perjalanan wisata, merasa nggak cocok. Jadi apa salahnya aku coba jadi pelayan kafe." Elsa beranjak dari tempat duduknya. Ia mengambil beberapa cemilan lagi untuk kedua sahabatnya.

"Turun kelas njir ..." Abian menghela napas panjang, "Jadi pramugari, kerja di hotel atau yang berkaitan dengan pariwisata." ucap Abian

"Diam kamu, anak tengil." Elsa melempar bantal ke arah Abian, "Nggak ada yang namanya turun kelas, karena kita lagi nggak sekolah." Elsa membela diri.

"Ya, ya, terserah deh ... Kali aja bisa kecantol bos yang punya kafe jadi bisa naik kelas." Ucap Loli

Elsa melotot, "Jangan harap! Ini kehidupan nyata, bukan dongeng. Di mana seorang bos bisa bersama dengan pelayan kafe. Gengsi lah mereka kalau pacaran sama pelayan kafe."

"Aamiin ..." ucap mereka serempak.

"Kok aamin?!" Elsa terkejut.

"Aamiin Elsa pacaran sama bos sendiri." Abian mengangkat kedua tangan di depan dada, persis seperti sedang berdoa.

"Kurang ajar kamu anak pungut!" Elsa menyentil dahi Abian.

"Diam kamu, nenek sihir." Abian beralih duduk di samping Loli.

"Minggir ih, Bian ..." Loli mendorong tubuh besar Abian

"Jangan gitu ah, sama mantan."

Elsa terkekeh geli. Mereka sempat berpacaran selama satu tahun lalu putus karena keegoisan masing-masing, Elsa salut dengan mereka meskipun sudah putus hubungan mereka tetap membaik.

Elsa Letashia, perempuan berusia 24 tahun yang kini hidup sendiri di ibu kota. Dua manusia di depannya adalah Abian Permadi dan Loli Putriana, mereka adalah sahabat Elsa sejak sekolah dasar. Obrolan mereka terganggu karena suara dering ponsel, Elsa segera mengangkatnya.

"Halo, Mbak ..." jawab Elsa

"Sa, kamu ingat kan besok tanggal jatuh tempo deposito papa?"

"Hah?" Elsa terkejut.

"Kamu pasti lupa kan?"

Elsa meringis, "Iya Mbak ..."

"Aduh ... Kamu kenapa bisa lupa sih? Kan, kamu ahli waris. Besok kamu datang ke bank ya."

"Oke Mbak, thanks sudah mengingatkan adikmu yang pelupa ini," ucap Elsa tidak enak.

"Dasar. Kalau uang sudah cair, ingat harus investasi ya, Sa. Gunakan uang papa sebaik mungkin."

"Mbak nggak pulang?"

"Mbak di sini sibuk banget. Kamu bisa kan ngurus sendirian?"

"Nggak janji Mbak, tapi aku coba besok deh." jujur Elsa

"Ok. Kabarin Mbak terus ya, see you ..."

Sambungan telepon terputus sepihak, Elsa menaruh ponselnya di atas meja. Ia diam sejenak, investasi apa yang pas untuk dirinya.  Sejujurnya ia tidak paham dengan investasi. 

 

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
A Cup Of Coffee(END)Where stories live. Discover now