"Jelek-jelekin gue sekali lagi tinggal nama lo, Gen," ancam Tegar.

"Ganteng banget lo, Bang."

"Muji kegantengan gue denda seratus juta."

"Mahal amat." Gentar menoleh ke arah abangnya. "Kalo dipuji tuh bilang makasih kek atau kasih duit jajan. Bukan kasih denda ke adeknya," gerutu Gentar.

"Jatah duit jajan lo dari ayah emang kurang?"

"Tumpah-tumpah sih, tapi kalo lo mau nambahin nomor rekening gue masih yang lama," jawab Gentar mendapat pelototan tajam dari Tegar.

Gentar nyengir dan menggeser tubuhnya sedikit menjauh dari Tegar. Waspada kalau tiba-tiba Tegar berniat menyerangnya. Abangnya itu sama sekali tidak terduga.

"Gue lagi nabung buat masa depan anak gue. Ntar kalo duit gue udah segunung baru gue kasih lo jatah buat jajan," ujar Tegar membuat mata Gentar berbinar.

"Ah yang bener lo? Peres nggak nih?"

"Bener. Selama lo masih jadi adek gue, gue bakal nyenengin lo, Gen."

Belasan tahun hidup bersama Tegar, baru kali ini Gentar merasa kalau abangnya ini benar-benar menyayanginya. Ah tidak, Tegar memang selalu menyayanginya tetapi dengan cara yang berbeda. Galak dan sering mengajaknya bertengkar itu bentuk kasih sayang Tegar padanya.

"Lo ada niat buat nendang gue dari keluarga ini ya, Bang? Kok ngomongnya selama gue masih jadi adek lo. Lo mau gue berhenti jadi adek lo?"

Momen manis itu dirusak oleh pertanyaan Gentar yang terdengar penuh penghayatan. Gentar menatap mata abangnya seakan-akan ia adek paling tersakiti di dunia ini.

"Nggak usah drama." Tegar menoyor kepala Gentar kemudian kembali fokus dengan tayangan televisi di depan.

"Gue tadi liat Bunda lagi masak. Acara makan malam nanti di sini?" tanya Tegar memecah keheningan yang sempat tercipta beberapa detik yang lalu.

"Acaranya di rumah kakek. Bunda masak buat dimakan sendiri."

Tegar mengangguk paham lalu memperhatikan Gentar dengan saksama. Adeknya ini sudah besar. Sebentar lagi lulus sekolah dan akan bertungangan dengan perempuan pilihan kakeknya.

Sama sepertinya, sebagai anggota Keluarga Dewanggara Gentar harus lapang dada menerima tradisi perjodohan yang turun-temurun dilakukan oleh keluarganya.

"Lo udah gede, udah bisa buat keputusan untuk hidup lo sendiri. Gue harap lo bisa bertanggungjawab penuh atas keputusan itu," ujar Tegar serius seraya menepuk bahu Gentar dua kali.

Terdengar kekehan kecil dari Gentar. Cowok itu menunduk, memainkan cincin silver pemberian kakeknya.

"Lo serius kan sama Azkira?" tanya Tegar guna memastikan perasaan adiknya seperti apa.

Tegar tau seberapa bucin Gentar pada mantannya terdahulu dan takut kalau Gentar hanya menjadikan Azkira sebagai tempat pelarian.

"Bang, udah lah kita bahas yang lain aja. Dari tadi gue udah berusaha alihin topik lo biar nggak bahas ginian tapi ujung-ujungnya lo tetep bahas ini," ujar Gentar enggan membahas hal yang tidak seharusnya ia perjelas lagi.

"Gue cuma mau mastiin lo enggak main-main sama perjodohan ini, Gen. Kalo lo nggak mau lanjut yaudah akhiri dari sekarang."

Gentar berdecak pelan mendengar Tegar mengatakan itu.

"Gue sayang sama Azkira bukan karena perjodohan ini, Bang. Gue tulus sama dia," balas Gentar meyakinkan abangnya.

"Bagus," puji Tegar. "Kalo sampe gue denger lo nyakitin dia, gue orang pertama yang bakal hajar lo habis-habisan," ucapnya memperingati.

GENTAR [END]Where stories live. Discover now