"Setelah gue lahir, ayah sama bunda buat perjanjian kalau nanti didepan gue harus romantis biar di kira mereka nggak pernah bertengkar, dan itu hanya settingan." Vania tertawa hambar lalu menatap Azha lagi.

Azha tau kesedihan Vania, Azha juga Merasakan apa yang Vania rasakan. Dia tau itu karena mata Vania yang memancarkan kesedihan namun mencoba untuk tidak menunjukan didepan umum.

"Gue sakit banget denger fakta itu, gue ngerasa gue nggak becus jadi anak." Gadis itu menatap sendu pada sahabatnya.

Azha berjalan mendekat, lantas memeluk Vania menguatkan gadis itu. "Gue kecewa banget Zha." Katanya dengan suara terbenam di perut Azha.

"It's okey kawan, masalah keluarga emang nggak bisa di buat main main. Ada gue Van, ada gue yang selalu ada di samping Lo, so jangan ngerasa sendiri. Dan lebih baik Lo omongin baik baik sama bokap nyokap Lo. Nggak baik marah marahan sama keluarga. Karena bagaimanapun mereka tempat pertama Lo pulang. Apalagi bunda Lo, dia sedih banget Van, inget Lo hanya satu satunya yang dia punya. Dava udah di sisi Tuhan dan tinggal Lo doang anak yang bunda punya. Jangan jadi anak durhaka. Air mata seorang ibu sangat berarti Van." Ujar Azha panjang lebar tanganya mengusap rambut pendek milik Vania.

Dalam dekapan Azha bisa merasakan bahwa Vania sedang mengangguk lemah. "Gue bakal usaha Zha. Makasih selalu ada di saat gue kaya gini. Gue bener bener nggak tau lagi harus ke siapa kalau bukan Lo." Kata Vania tulus sambil melepas pelukannya.

"Itu namnya sahabat popok gue." Gurau Azha sambil menepuk puncak kepala Vania.

Gadis berambut pendek itu tersenyum lalu menyambar tasnya. "Ayo berangkat nanti telat." Katanya di angguki oleh Azha.

Keduanya keluar dari apartemen berjalan beriringan sambil bercanda tawa. "Oh ya, di samping rumah Lo ada penghuninya sekarang." Kata Azha.

Vania menatap Azha dari samping. "Oh ya?"

Azha mengangguk, tanganya bergerak untuk menyamankan posisi tasnya. "Bari kemarin pindah, tadi gue ketemu sama ibu ibunya, cantik masih muda keknya umurnya sama kaya Tante dinda." Jelas Azha.

"Pasti bunda sibuk buat kue untuk di kasih sama tetangga baru itu." Sahut Vania.

Sekarang kedua gadis itu memasuki lift untuk turun ke lantai satu. Karen kamar Vania ada di lantai 5.

"Lo bener, dari dulu Tante nggak pernah berubah sama sekali." Azha terkekeh geli sendiri.

Dulu waktu kecil, jika ada tetangga baru bunda Dinda selalu repot menyiapkan makanan basah untuk di beri ke tetangga baru dan Vania selalu menolak mentah mentah jika di suruh mengantarkan kue itu ke tetangga baru, dia selalu mementingkan bermain sepak bolanya bersama anak anak cowok di gang rumahnya, dan tentunya bersama Azha.

oo0oo

Beberapa menit kemudian Vania sampai di SMA Brilliant, dan 5 menit lagi bel berbunyi.

Seketika Vania menoleh saat ada yang menepuk pundaknya. "pagi" sapa Gasa tersenyum manis pada Vania.

Selama tiga hari ini sifat Gasa berubah total! Gasa selalu memperlakukan Vania dengan spesial. Bahkan teman-teman Gasa yang lain heran dengan sifat Gasa yang tiba-tiba berubah.

Vania pun sama, "pagi juga." Sepanya balik.

"Lo udah sarapan?" Tanya Gasa sambil merangkul pundak Vania, mereka berjalan beriringan.

"Belum." Jawab Vania seadanya karena tadi memang belum sempat makan.

"Yaudah yuk ke kantin, kebetulan gue juga belum makan." Tiba tiba tujuan mereka berbelok ke arah kantin.

RAVANIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang