"Coba pakai ini."

"Saya nggak apa-apa pakai ini?"

"Nggak masalah, itu pesanan orang, tapi saya bisa buat lagi, gampang lah. Kasihan kamu nggak pakai baju dari sore tadi, udah kaya Tarzan."

Prabu hanya cengengesan menjawab celetukan Kamala, tapi dalam sekejap ekspresi itu menghilang saat Kamala mendekatinya untuk membantu mengancingkan kemeja yang dia kenakan.

Aroma shampoo dari rambut Kamala menggoda indra menciuman Prabu. Kedua telapak tangan Kamala bahkan menyentuh dadanya, merapikan beberapa bagian kemeja yang kusut. Dalam jarak sedekat ini Prabu tidak bisa menyembunyikan ketertarikannya pada Kamala.

"Mba Kamala."

"Hmm?"

Kamala mendongak untuk melihat Prabu karena laki-laki itu tidak bersuara lagi. Namun sentuhan jemari Prabu di wajahnya membuat Kamala tertegun sejenak sebelum semua lampu di dalam villa berkedip-kedip sampai akhirnya mati, sedangkan hujan di luar semakin deras turun menyelimuti gairah mereka berdua.

Wajah Kamala yang begitu dekat dengan Prabu kini hanya disinari bulan yang cahayanya masuk dari sela-sela ventilasi jendela. Prabu menelan ludahnya dan sedikit demi sedikit memberanikan diri menggerakan jemarinya untuk membelai wajah Kamala yang cantik.

Mata Prabu mengarah ke leher Kamala yang ditutupi rambut, jadi-jemarinya merapikan sedikit rambut Kamala hingga kini dia bisa melihat betapa mulusnya kulit perempuan itu. Berwarna kuning langsat tanpa cacat sedikit pun. Bibir Kamala yang ranum mengundangnya untuk singgah. Prabu menelan ludahnya sendiri. Wajahnya bergerak sedikit demi sedikit mendekat ke wajah Kamala.

Aroma napas perempuan itu manis dan sungguh membuat Prabu hampir kehilangan akal sehat.

"Maaf. Maaf, saya nggak bermaksud apa-apa sama Mba Kamala," ucap Prabu tergagap karena merasa bersalah telah begitu lancang menyentuh perempuan itu.

Kamala mundur beberapa langkah setelah kesadarannya kembali pulih. Keintiman di antara mereka bukan sesuatu yang diprediksi akan terjadi oleh Kamala. Dia tidak pernah disentuh seperti tadi selain dengan Saputra. Pikiran itu melintas dengan cepat dan membawa kenangan-kenangan yang menyakitkan kembali hadir di dalam benak.

"Mba punya lilin? Atau di mana saklar rumah ini biar saya cek apa ada konsleting listrik atau tidak." Prabu berusaha mengalihkan perhatian dari rasa canggung yang muncul di tengah-tengah mereka berdua.

"Saya nggak punya lilin, saklarnya ada di gudang."

"Mba mau saya bantu cek?"

Kamala hanya mengangguk dan berjalan lebih dulu untuk menunjukkan ruang gudang yang dia maksudkan. Dengan telaten Prabu mengecek semua kabel, tapi semua tampak sangat normal, tidak ada konsleting listrik yang dipikirnya terjadi.

"Mungkin karena hujan deras, jadi mati lampu."

"Ya, mungkin."

"Kalau gitu saya beli lilin buat Mba Kamala di warung. Setelah itu saya baru pulang."

"Prabu, saya boleh tanya sesuatu?"

Bulu kuduk Prabu berdiri saat mendengar namanya di panggil Kamala. Setelah seharian bersama, baru malam ini Kamala memanggil namanya dengan jelas.

"Ya?"

"Apa Mas Gilang nggak pernah cerita yang macam-macam tentang saya ke kamu?"

"Seinget saya cuma seperti apa yang tadi siang saya sampaikan ke Mba. Dia cuma bilang saya harus menjaga Mba karena Mba Kamala sudah seperti adik kandungnya sendiri. Memangnya kenapa?"

Kamala (Sudah dinovelkan)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon