10.

2K 372 11
                                    

Mobil Jeep Prabu berhenti tepat di pelataran rumah Kamala di Solo. Sinar matahari muncul malu-malu di balik awan mendung yang bergelayut di langi sore itu. Tanpa rasa ragu, Prabu turun lebih dulu dari mobil untuk membantu membukakan pintu bagi Kamala.

"Siap?" tanya Kamala pada Prabu yang baru saja menutup pintu mobil di belakangnya.

"Ya. Kamu gimana? Saya nggak akan lihat drama keluarga, kan, di sini?"

"Tergantung bagaimana kamu bisa meyakinkan Ibu."

"Menurutmu bagaimana?"

"Bagaimana apanya?"

"Penampilan saya. Sudah cukup meyakinkan belum?"

Mata Kamala melihat keseluruhan penampilan Prabu yang rapi dan maskulin. Tidak ada alasan yang kuat untuk meragukan kejantanan laki-laki ini. Terutama permainan jari-jarinya yang lihai. Kamala langung menggelengkan kepala perlahan untuk mengusir pikiran kotornya.

"Meyakinkan. Kamu seperti bos mafia."

"Bukan seperti preman lagi?"

"Apa bedanya?"

Prabu tersenyum lebar, "Nggak ada, sih," jawabnya cengengesan.

"Kamu persiapkan jawaban yang baik saja. Kalau Ibu menolak, kita lakukan rencana B."

"Rencana B?"

"Kawin lari."

Prabu menahan tawanya, "Saya nggak mau kawin lari sama kamu."

Ucapan Prabu jelas membuat Kamala mengerutkan keningnya sangat dalam. "Kenapa?"

"Kamu jalan aja susah, gimana kalau lari? Belum kawin, udah ketangkep duluan, sayang."

"Sayang?" tanya Kamala sambil mendengus geli.

"Kurang mesra? Mau gandengan sama saya ke dalam, nggak?"

"Kita mau masuk ke rumah, bukan mau menyebrang jalan."

Prabu menggeleng. "Malaikat pencabut nyawanya sudah menunggu di dalam, kan? Ayo cepat, gandengan. Biar saya mati nggak sendirian."

"Kamu ngajakin saya mati?"

"Resiko ditanggung bersama, ingat?"

"Kamu cuma bilang saya nggak boleh mencari laki-laki lain kalau seandainya kamu mati."

"Ya itu salah satunya."

Kamala tidak bisa menahan senyumnya mendengar guyonan Prabu. Dia menerima tawaran bergandengan tangan itu hanya sebagai formalitas agar terlihat meyakinkan meski mata jeli ibu tirinya tidak akan bisa dikelabui dengan tipu daya seperti ini.

Saat mereka masuk, seekor burung gagak hitam berhenti mengepakkan sayapnya di udara yang membawa kabar dari kejauhan. Dia bertengger di salah satu kursi pelataran rumah tua itu dengan sorot mata yang tajam menatap Kamala dan Prabu dari belakang. Tanpa disadari keduanya, burung gagak itu bersuara sambil mengetuk-ngetuk paruhnya ke kursi kayu.

Saat Prabu dan Kamala masuk ke dalam, hawa dingin memeluk tubuh Prabu secara misterius. Dia tidak tau dari mana asal perasaan itu muncul. Prabu hanya yakin bahwa dunia Kamala sangat berbeda darinya. Di beberapa sisi rumah, Prabu bisa melihat banyak lukisan dan foto-foto keluarga yang beberapa di antaranya berwarna hitam putih. Di antara foto-foto itu, ada foto Kamala berusia remaja yang rambutnya dikepang menjadi dua. Lugu dan cantik, perpaduan yang memikat.

Bagaimana pun juga Prabu merasa sedikit ciut nyalinya menikahi perempuan dengan strata setinggi ini. Harusnya dia mengencani beberapa pelacur di Pasar Kembang atau di beberapa diskotik langganannya. Ide itu sangat terlihat mudah daripada harus mengorbankan nyawa demi seorang priyayi seperti Kamala.

Kamala (Sudah dinovelkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang