4.

2.1K 426 25
                                    

Jam sudah menunjukan pukul tujuh malam dan hujan tidak kunjung mereda saat mereka sampai di villa. Prabu menyempatkan diri membuka pintu mobil untuk membantu Kamala keluar. Mereka berlari-lari kecil menghindari hujan itu. Sesampainya di depan pintu rumah, Kamala mendongak untuk memastikan Prabu tidak lebih basah darinya.

"Kamu masuk dulu, ya."

"Saya langsung aja, Mba."

"Nggak, kamu masuk dulu, kamu selama perjalanan nggak pakai baju, saya nggak mau besok kamu sakit dan saya harus repot nyari supir baru."

Kamala terdengar seperti seorang Ibu di telinga Prabu. Dia tersenyum dan berjalan mengikuti Kamala sampai masuk ke dalam ruang tamu.

"Sebentar saya ambilkan handuk, mungkin ada baju yang cocok juga buat kamu."

"Nggak usah repot-repot, Mba."

Tidak ada jawaban dari Kamala, Prabu terpaksa menunggu sambil berdiri karena tidak ingin membuat sofa ruang tamu jadi basah. Kamala benar-benar merasa bersalah kepada Prabu, dia menyiapkan teh hangat, handuk dan beberapa baju over size miliknya. Berharap salah satu di antaranya ada yang cukup.

"Kalau kamu mau numpang mandi sekalian juga nggak apa-apa, ada air hangat di kamar mandi."

"Aduh, saya ngerepotin jadinya."

"Nggak masalah, saya tinggal ke kamar dulu, kamar mandi tamu ada di sana."

Prabu mengangguk dan membawa baju yang diberikan Kamala padanya. Selama satu jam tidak ada yang terjadi di antara mereka. Kamala sibuk dengan dirinya sendiri begitu juga Prabu. Untuk memastikan semuanya baik-baik saja, setelah selesai membersihkan diri dan mengganti bajunya. Kamala keluar dari kamar dan melihat Prabu yang juga baru saja keluar dari kamar mandi. Tatapan mereka bertemu lagi.

Rambut Prabu basah, tubuh atasnya masih telanjang, handuk kecil yang Kamala pinjamkan tersampir di lehernya. Penampilan Prabu membuat Kamala mengerutkan kening. Untung saja jeans belel milik Prabu masih cukup kering untuk dipakai lagi. Kamala tidak bisa membayangkan berapa besarnya sesuatu di balik celana jeans belel itu.

Begitu juga pada Prabu. Dia tertegun sejenak melihat Kamala dibalut dress tidur dari satin hitam sebatas lutut, ditambah outwear berwarna senada.  Rambut Kamala dibiarkan terurai, jatuh begitu cantik di antara pundaknya. Tidak ada kebaya atau sanggul yang Prabu lihat pagi tadi. Sepenuhnya Kamala tampak seperti perempuan modern yang normal. Bahkan payudara Kamala bentuknya lebih terlihat jelas di mata Prabu sekarang. Lebih besar dari dugaannya.

"Kenapa kamu nggak pakai baju? Bajunya kekecilan ya?"

"Iya," balas Prabu sambil tertawa menghilangkan pikiran kotornya. "Tangan saya aja nggak bisa masuk."

"Oh, maaf, itu baju saya yang paling besar."

"Gapapa, Mba."

"Maaf ya."

"Santai aja Mba Kamala, oh ya, saya minum tehnya ya."

"Silahkan. Rumah kamu di mana?"

"Bantul."

"Bantul? Jauh banget."

"Besok Mba Kamala berangkat pagi lagi?"

"Saya harus cari tambahan kain. Bisa siang atau sore."

"Saya jemput sore nggak apa-apa?"

"Boleh. Kamu mau langsung pulang?"

"Iya, lebih baik pulang sekarang."

"Bisa tunggu sebentar?"

Prabu belum sempat menyuarakan pendapatnya sampai Kamala kembali lagi dengan kemeja berwarna putih di tangannya.

Kamala (Sudah dinovelkan)On viuen les histories. Descobreix ara