🧷28

469 141 23
                                    

"Jangan lanjutkan." Aku tak tahu bagaimana kalimat itu meluncur dari mulutku, yang dihadiahi tatapan aneh Haechan. Tentu saja, baru sedetik tadi aku memaksa Mark berbicara. Ludahku terasa begitu pahit saat ditelan."Ja-jangan lanjutkan kalau kau tidak benar-benar yakin."

Mark terdiam sejenak. "Sebentar, aku punya sesuatu."

"Ngapain? Jangan bangun dulu!" tegur Renjun, menopang dua sisi tubuh Mark, antara membantu atau hendak memaksanya kembali berbaring.

"Sebentar," Mark tersenyum menenangkan. Kemudian, dia mencondongkan tubuhnya ke sebelah, menarik laci meja dan mengambil sesuatu dari sana.

"Ah." Aku tak tahu kenapa pandangan Mark tampak takjub setelahnya. Saat melihatku.

"Itu?" Haechan maju sedikit. "Apaan?"

Senyum Mark terpatri lagi. "Punyamu. Ingat?"

Aku masih terpaku. Selama beberapa saat, kukira pertanyaan itu akan dijawab oleh Haechan atau Renjun. Ternyata tidak.

"Aku memungut ini dulu," lanjut Mark, seraya merentangkan benda berkilau di telapak tangannya itu dengan tangan yang sebelah.

Dan, kala itu juga, kepalaku terjadi sesuatu.

"Kalung?" Renjun bersuara ragu.

"Ukh!" Tak butuh waktu lama, lututku langsung menabrak lantai. Seakan-akan di sana terdapat medan magnet yang teramat kuat dan tulangku tercipta dari besi murni. Aku mencengkram ubun-ubun, nyaris menjenggut habis rambutku sendiri. Satu tanganku yang lain tanpa sadar berusaha mencakar datarnya lantai.

"Molla?! Hei!" Kudengar nada panik Haechan. Kurasa dia juga ikut berjongkok di sebelahku, mencoba menyadarkanku atau-entahlah. Aku sedang tidak bisa berpikir.

Jeritanku pecah. Rasa sakit ini kelewat batas. Tengkorakku seperti sedang dibor dan ujung bornya sudah setengah masuk, mengancurkan syaraf-syaraf otakku tanpa ampun.

Ini... persis yang kurasakan ketika mengunjungi jembatan itu.

"Apa yang terjadi—"

"Hyung! Kubilang jangan dulu bangun!"

"Hei! Kau tidak apa-apa? Jawab aku!" Tangan Haechan bergerak-gerak diantara tampilan ubin yang berkunang-kunang. Aku tak sanggup untuk sekadar mendongak, apalagi berbohong bilang keadaanku sehat-sehat saja. Aku terus berada di posisi ini selama beberapa menit, seiring nyeri kepala itu menyedot seluruh tenangaku.

Kakiku lemas.

"Hyung, kamu yakin kalung itu punya dia?"

"I-iya, yakin. Kalau emang nggak salah orang. Tapi dia kenapa? Sakit?"

"Bisa kalian jelasin apa yang sedang terjadi? Aku nggak bisa liat dia, inget?"

"Sebentar." Bayangan Haechan di sebelahku menghilang. "Hyung nyimpen kalungnya di mana tadi?"

"Di laci. Di sana."

"Apa tadi posisinya deket wadah-wadah ini?"

Aku tidak bisa mendengar secara detail. Dadaku masih turun-naik, coba mengisap udara sepanjang mungkin. Berharap bisa sedikit menguraikan sesak di dalam.

Namun menguraikan sesak saja tidak cukup. Daguku hampir menempel pada dadaku, terkulai sepenuhnya. Nyerinya mulai berkurang, tapi tetap saja aku ingin mencopot kepalaku agar perasaan menyiksa ini lekas hilang.

"Aku pernah tiba-tiba nggak bisa liat dia selama beberapa hari... Hyung, denger aku?"

"Tapi, dia gimana—"

"Dia bukan manusia yang bisa kita angkat ke kasur. Kita nggak bisa nolong dia saat ini. Dengerin aku dulu, oke?"

Aku memejamkan mata, melenguh panjang. Tenang, kumohon tenanglah. Kendati sangat menyakitkan, aku pasti bisa pulih berkaca dari kejadian sebelumnya.

"... nggak jelas apa yang bisa buat aku tetiba bisa atau nggak bisa lihat dia. Tapi, sebelumnya aku nggak tahu ada kalung di laci itu..."

"Jadi? Kalian tau 'kan, aku jadi keliatan yang paling bego sekarang?"

"Sabar. Molla, kau mendengarku?" Seseorang memanggilku? Haechan? Maaf, ini terlalu buram.

"Kalau bisa, coba dengar teoriku ini. Kalau tidak bisa... aku akan menjelaskannya lagi sesudah kaupulih..."

Eranganku keluar lagi.

"Menurutku, kalung itu adalah 'tombolnya'. Aku sama dia—iya, Si Molla—pernah ngobrolin ini. Ada persamaan waktu aku bisa liat dia dua kali, yang satu sehabis aku yang tetiba nggak bisa liat dia lagi. Yaitu, saat itu aku selalu abis pakai skincare rutinku. Jangan dipotong."

Mendengarkannya saja aku hampir mati, apalagi memotong.

"Waktu itu kami cuma nganggep itu kebetulan. Tapi, kalian liat sendiri, beberapa skincare punyaku ada di laci yang itu. Jadi, gimana kalau teorinya adalah... aku bisa liat Molla karena nggak sengaja nyentuh kalung itu pas mau ngambil skincare itu?"

Itu... bisa saja. Aku mulai marah pada rasa sakit yang membuatku tak bisa berkata atau memikirkan apapun ini.

"Bentar. Terus kenapa kamu bisa sempat keilangan penglihatanmu itu?"

"Dugaanku, dengan hanya nyentuh kalung itu, bukan berarti kita bisa liat dia selamanya. Ada masa kadaluarsa, istilahnya. Dan itu kejadian dengan aku yang mendadak nggak bisa liat dia lagi. Terus, aku yang kemudian kembali dapet penglihatan itu, bisa jadi karena pas itu aku nggak sengaja lagi nyentuh kalungnya. Masuk akal?"

Ya. Tapi, benarkah itu?

"Sebenernya... pas aku tadi pertama ambil kalung ini dari laci, wujud dia, eum... maksudku wujud Molla, dia makin keliatan jelas." Mark?

"Iya? Aku nggak pernah bilang langsung ke dia, tapi aku emang ngerasa wujud dia itu semakin lama semakin pudar." Haechan? "Di hari sebelum aku mendadak nggak bisa liat dia dulu itu, wujudnya nggak sejelas waktu pertama atau kedua kali aku bisa ngeliat dia."

"Tapi teori ya teori. Belum tentu bener."

"Tapi masuk akal, 'kan?"

"Kenapa nanya? Bukannya ada cara gampang buat ngebuktiin teorinya bener atau salah?"

"Gimana?"

"Tinggal kasih kalungnya ke aku. Kita liat apa selanjutnya aku bisa liat dia atau nggak. Bener 'kan?"

Renjun...?

***

Fun fact, kusendiri kaget karena part bareng Mark ini menjadi cukup panjang buat sampe ke inti. Aku kira 2 part, beres, tapi tidak.

Semoga aku menulisnya dgn tepat, jadi kalian ndak bosen, gitu~ Mungkin Mark dendam karena baru dimunculkan di akhir haha /sori, mark. demi alur. aku sayang kamu :3/

Yasudahlah, sekian ngelanturnya.

[END] See You When You Can See Meحيث تعيش القصص. اكتشف الآن