🧷16

470 121 1
                                    

Kejutan ulang tahun Jeno berjalan meriah. Potongan-potongan convetti berserakan di lantai. Aku sempat mendengar juru kamera bilang kalau rekamannya sangat menyenangkan. Sayang sekali harus diedit dan dipoles dulu, sehingga tidak bisa di upload hari ini juga.

Para member sudah beres-beres hendak pulang, dan aku masih tidak tahu apa yang terjadi.

Punggungku merosot di dinding kaca, kehilangan seluruh harapan untuk mencoba menarik atensi Haechan. Aku tidak ingin menghadapi ini. Aku ingin percaya bahwa dia cuma pura-pura tidak bisa melihatku. Dia cuma masih kesal karena pertengkaran kami.

Tapi, kenapa matanya bilang sebaliknya? Matanya yang jujur itu tidak menjumpaiku sama sekali.

Haechan tidak lagi bisa melihatku. Sesuatu telah terjadi dan kubilang aku tak tahu apa itu.

"Ah, cake-nya akan saya ambil, boleh?" Itu Jeno pada seorang staff yang sedang merapikan meja. "Terima kasih. Kalau begitu, kami duluan. Terima kasih banyak untuk hari ini, maaf merepotkan. Saya senang sekali."

Iya, Jagat Raya. Jeno yang ulang tahun, kenapa aku yang menerima kejutan yang lebih-lebih?

"Jen, cepetan. Udah ditunggu di depan." Haechan melewatiku. Melewatiku.

Aku ingin memanggilnya. Aku ingin mengobrol. Aku ingin bertengkar lagi dengannya.

Aku ingin. Aku sungguh ingin.

"Lee Haechan...."

Dia melewatiku. Dia sudah melewatiku.

Ada sesuatu yang salah terjadi di hatiku. Aku tidak bisa menggambarkan dengan baik. Ini seribu kali lipat lebih hampa dari kali pertama aku bangun sebagai hantu.

Kamu, jika hari ini kali terakhir seseorang bisa melihat wujudmu, apa yang akan kaulakukan?

Kalau aku, aku ingin berterima kasih. Dan minta maaf. Dan bilang bahwa aku menyayanginya. Bahwa aku bersyukur setengah mati akan keberadaannya di sisiku.

Kalau kemarin benar hari terakhir, itu adalah hal-hal yang ingin kutinggalkan sebelum pergi.

Kepalaku benar-benar jernih sekarang.

Kemarin, jikalau aku benar dan Haechan salah, dia tetap benar. Aku bukan siapa-siapa. Harusnya aku merasa cukup dengan Haechan yang memerlakukanku dengan baik.

Sikap Haechan sendiri sudah merupakan anomali. Coba, siapa manusia yang bisa begitu gampang menerima keberadaan hantu di dalam hidupnya? Dia memang banyak membuatku kesal, tapi garis bawahi, itu pertama kalinya dia membuatku sedih.

Rakus, Molla, kau rakus. Kau baru menghargai hal-hal sederhana ini setelah kehilangan.

Sekarang, keberadaanmu ini, untuk apa? Untuk siapa?

***

Sebenarnya, agak bodoh kalau kuceritakan aku jadi kehilangan motivasi hidup. Apalagi jika kubilang aku ingin mati.

Manusia harus bersyukur bisa mengatakan kalimat 'aku ingin mati'. Karena itu artinya mereka masih hidup. Masih punya napas, harapan, dan kesempatan yang mungkin memang kalah besar dengan masalah yang ada.

Tetapi, itu berharga.

Percayalah.

Di antara semua omong kosongku dari awal, kalian boleh memercayai ini.

Hidupku, seperti kembali ke garis awal yang memuakkan. Seperti berulang ke detik pertama aku terbangun subuh-subuh di dorm NCT. Menjadi sosok yang tak terlihat, tak terdengar, tak terasa adanya.

Atau, Haechan sendiri ialah 'error' di kehidupan keduaku ini? Mungkinkah penglihatannya adalah bagian yang tidak diprediksi Jagat Raya?

Kalau benar, artinya semua cuma kembali ke tempatnya semula. Semua cuma kembali ke jalan cerita.

Mungkin, peranku memang hanya narator tak kasat mata, menceritakan apa yang kulihat dengan gaya seorang penggemar agar 'penonton' tidak bosan. Tak lebih dan tak kurang.

Maka, hei, putar kameranya kesana. Biar kuceritakan apa yang Jeno dan Manager Seora tengah lakukan.

"Jadi, Noona, tidak ada hadiah ulang tahun untukku?"

"Ah," Manager Seora tampak serba salah karena Jeno menghampirinya ketika sedang menunggu lift. Beberapa orang masih berlalu-lalang, akan aneh baginya untuk menghindar. Jeno memang cerdas.

"Ada hal khusus yang kauinginkan dariku?"

"Yakin aku boleh minta sesuatu apa saja?"

"Hm. Katakan saja," angguknya dengan nada menurun, ragu.

Jeno tersenyum simpul. "Aku mau jepit rambut."

"Apa?"

"Itu," Jeno menunjuk dengan dagunya. "Seperti yang Noona sering pakai."

Bingung, Manager Seora tampak meraba belakang telinganya. Di sana memang tersemat jepitan kecil yang hampir tidak terlihat karena warna gelapnya. Nyaris berbaur dengan warna asli rambut jika tidak diperhatikan dengan saksama.

"Ini? Kau yakin?" Dia mengernyit heran.

"Oh, apakah harganya mahal?"

Manager Seora menggeleng. "Sama sekali. Sangat murah."

"Kalau begitu, bagus. Aku mau itu." Jeno tertawa. "Noona lihat 'kan, rambutku mulai panjang."

"Aku akan carikan yang lebih bagus—"

"Tidak. Tolong carikan yang sama persis seperti punya Noona untukku."

Bunyi lift yang terbuka menyela mereka. Jeno lantas membagikan senyum manisnya, terlihat tak memahami kebingungan lawan bicaranya.

"Noona duluan saja, ada yang ketinggalan," katanya. Kurasa, siapapun bisa tahu sejak awal Jeno tak berniat menaiki lift. "Aku tunggu hadiahnya," Jeno menambahkan sebelum benar-benar berbalik pergi.

Meninggalkan Manager Seora yang menghela napas, bersamaan dengan jemarinya menyentuh jepit kecilnya lagi.

***

[END] See You When You Can See MeWhere stories live. Discover now