🧷12

474 126 3
                                    

Beranjak siang, udaranya lumayan bagus. Langitnya berarsir biru pucat, kabar baik untuk kami yang hendak melakukan pemotretan di luar ruangan. Sementara sesi pemotretan grup telah dirampungkan di dalam studio, giliran solo photoshoot yang dimulai dari urutan Jeno.

"Jeno Hyung kenapa?" Jisung menyeletuk. "Kayak suram gitu."

"Kurang tidur kali, main game semaleman," jawab Chenle sekenanya.

Aku ragu Chenle tidak mencium 'bau amis' di mobil tadi. Dia bukan Jisung atau Renjun yang memiliki kepekaan di bawah nol. Ini hanya firasat, tapi kurasa Chenle sudah tahu apa yang terjadi dan dia bungkam cuma demi kenyamanan semuanya.

"Ini salahmu," tudingku, masuk kembali ke studio; tepatnya ke ruang make-up di mana Haechan tengah mengipasi lehernya menggunakan kipas angin mini portabel. "Kenapa malah bertanya yang aneh-aneh, sih? Lihat, suasananya jadi begini."

"Ya mana kutahu Manager Noona bakal jawab begitu?" elaknya.

Aku mendudukkan diri di meja rias, membutakan diri dari pelototan Haechan. "Tapi mereka berdua itu sejak kapan sih?" mulaiku.

"Jeno sama Manager Noona?" Kubalas anggukan, Haechan menerawang ke atas dan berkedip-kedip. "Entah. Aku juga baru sadar akhir-akhir ini."

"Karena?"

"Jeno mulai melakukan sesuatu yang… apa bahasanya ya—'aneh dan tidak biasanya'? Contoh, tiba-tiba dia jadi suka membelikan kami makanan sehabis latihan."

"Maksudmu sebelumnya Jeno itu orangnya sangat pelit?"

"Ya tidak," Haechan mengomel, mengetukkan kipas anginnya ke dahiku dengan lancang. Dia baru berhenti setelah aku bergerak di ketukan kelima, lalu kipasnya menembus kepalaku.

"Yah, intensitasnya saja yang jadi terlalu sering. Setelah kuperhatikan, tiap meneraktir kami, Jeno selalu memberikan makanan atau minuman pesanan secara langsung hanya pada satu orang," senyumnya terkulum geli.

"Dia bodoh atau bagaimana? Itu terlalu kentara, 'kan?" Aku menggeleng-geleng. Kami sudah seperti kawan lama yang berbagi gosip terbaru.

"Tidak, dia lumayan pintar mengambil timing saat kami sibuk pada kudapan yang datang. Tapi Jaemin 'kan perhatian, dia tidak mungkin tidak sadar kelakuan aneh teman sekamarnya sendiri," papar Haechan lagi.

"Dan Jaemin juga tahu cara membuat Jeno kelepasan bicara, ya?" Kami terkekeh membayangkan. "Apa mungkin kalau kita mengorek-ngorek informasi dari Jaemin?" Aku memberi ide.

"Aku, Molla, bukan kita," ralat Haechan mendelik. "Dan jawabannya, tidak mungkin. Jaemin itu setia, kautahu? Sangat setia. Dia tahu mana cerita yang boleh dibagikan, dan mana yang 'lebih baik tanya orangnya sendiri'."

"Beda sekali dengan seseorang, ya?" sindirku tak tahan. Masa dia dulu mengataiku setan di depan Jaemin? Aku masih dendam.

Haechan pasti akan mendebatku kalau saja seorang kru tidak datang dan memberi aba-aba kalau selanjutnya adalah gilirannya untuk dipotret. Dia berjalan pergi, tetapi baru beberapa langkah, Haechan kembali lagi ke meja rias.

"Minggir," perintahnya.

Oh. Aku turun dengan setengah hati. "Jadi bagaimana? Kau mau terus pura-pura tidak tahu masalah ini?"

"Masalah?" ulang Haechan, masih sambil bercermin memperbaiki lensa kontaknya. "Ini bukan masalah, Molla. Ini kehidupan normal kami."

Aku terdiam.

"Aku memang penasaran, tapi tak akan melakukan apa-apa. Aku menghargai dan menyerahkan semuanya pada mereka berdua," tutupnya kemudian.

Lama kupandangi pintu tempat Haechan menghilang bak seseorang yang tak pernah diajari berkata. Tiba-tiba sosok yang tak kuharapkan masuk ke ruangan kosong berhantu ini.

Manager Seora menutup pintu dengan pandangan tak lepas dari ponselnya yang bergetar. Tersirat wasangka di matanya. Ujung-ujungnya, panggilan telepon itu berakhir tanpa diangkat.

Perempuan yang kini mengenakan kemeja flanel kotak-kotak itu menyandarkan punggung ke tembok di samping pintu. Seperti menunggu dan mempertimbangkan hal yang amat penting. Tatkala sebuah panggilan telepon kembali masuk ke ponselnya, barulah aku sadar betapa tidak bergunanya aku mengamati semua ini.

"... diangkat juga. Aku benar-benar rindu padamu."

"Hah?" Spontan saja aku melongo. Sumpah, tadinya aku hanya bermaksud keluar 'lewat' pintu, bukannya mau menguping suara dari lawan bicaranya di telepon itu.

Manager Seora menyugar rambut depannya. (Ngomong-ngomong, aku masih tak tahu bagusnya memanggil dia apa. 'Eonni' terasa canggung dan sok akrab, ewh. Kurasa 'manager' sudah yang paling tepat.)

"Ada apa?" katanya sedatar talenan. 

"… aku cuma ingin mendengar suaramu."

"Kututup."

"Tunggu!" cegah suara bariton itu. Laki-laki pastinya. "Kamu di Seoul 'kan?"

Mimik Manager Seora berubah drastis. "Darimana kau…."

"Aku melihatmu tidak sengaja terekam di siaran televisi. Apa kamu bekerja bersama mereka?"

"Jangan datang," lirihnya mengancam. "Jangan datang. Jangan pernah berpikir untuk datang kemari."

"… aku sudah menerima karmaku, Seora. Aku ingin meminta maaf padamu secara langsung."

"Aku sudah memaafkanmu, kubilang."

"Tidak mungkin."

"Benar juga," Manager Seora melontarkan tawa kecil yang tak sesuai dengan ekspresi sinisnya. "Maka dari itu, jangan sekali pun coba-coba menemuiku. Karena aku tahu persis, aku baru akan benar-benar memberimu maaf saat bisa menguliti wajahmu dengan kuku tanganku sendiri."

***

[END] See You When You Can See MeOù les histoires vivent. Découvrez maintenant