🧷8

522 146 8
                                    

Aku memukul televisi ngeyel yang tidak juga mau menyala setelah tombolnya kupencet sebanyak empat puluh delapan kali. Bising penyedot debu seakan mengejekku dari belakang.

"Ahjumma," sebuah suara menyela makianku. "Jangan lupa bilang ke yang lain kalau kamar-kamar sudah dibersihkan," pesannya.

Bibi itu mematikan sejenak penyedot debunya. "Jadi cuma ruang ini, ruang depan, toilet, dan dapur, 'kan? Jangan khawatir."

"Terima kasih." Dia membalas pendek sebelum kembali mengotak-atik ponsel.

"Saya di sini, Manager Shim." Pria paruh baya dengan kotak perkakas muncul dari samping. "Apa ada lagi yang rusak?"

"Kunci toilet sana sedikit macet," tunjuknya.

"Akan saya lihat."

"Terima kasih."

Kaku sekali manager wanita ini. Padahal dia yang mengepalai kegiatan bersih-bersih dorm ini. Dan aku harus menonton ini sampai para member pulang? Matilah.

"Halo?" Kali ini dia menjawab telepon. "Iya. Jangan khawatir, saya akan memastikan ini selesai sebelum sore. Baiklah—"

Aku menoleh. Dia juga.

"... tidak. Tidak papa," sambungnya masih melihat ke arahku.

Ah. Aku paham.

Bukan, dia bukan melihatku. Manajer wanita ini 'merasakan'. Pandangan matanya tidak diam pada diriku, tapi bergerak-gerak seperti mencari sesuatu yang barusan menyenggol tangannya.

Ada beberapa yang seperti ini. Yang paling 'dikutuk' adalah yang bisa melihat kami. Seumur hidupnya dia jarang punya tidur yang tenang. Setingkat di bawah itu—yang kusebut lebih beruntung, persis Manager Shim ini. Tubuhnya peka, tapi matanya adalah mata manusia biasa.

Syukurlah. Aku bisa repot kalau manager wanita ini bisa melihatku menghantui artis-artisnya.

Eh, lalu kasus Haechan ini bagaimana, ya? Aku yakin, dia tidak melihatku sedari awal. Pasti ada pemicunya. Dari enam personil yang ada, kenapa harus dia? Gara-gara dirinya, aku terjebak di tengah suara penyedot debu.

Si Licik itu....

***

7 jam sebelumnya.

"Aku tidak mau tahu, kau tidak boleh mengikuti kegiatanku hari ini," tegas Haechan.

"Aku ingin bersama member yang lain, bukan kamu!" bantahku sama kerasnya.

"Sama saja, Molla," Haechan berbalik karena tidak menemukanku dalam cermin yang di depannya. "Ini kegiatan grup. Dan aku tidak bisa fokus jika melihatmu menembus sana-sini!"

Aku mengernyit curiga dan susah membantah. "Kau iri?"

"Hah?"

"Sebab kau tidak bisa menembus sepertiku?"

Dia terlihat kesal. "Kata siapa aku tidak bisa?"

Berkacak pinggang, aku mengibaskan rambutku sombong. "Iya 'kan? Kau iri—"

Splash!

"Aku bisa menembusmu, tuh."

Jan-tung-ku.

"Dan lagi, ada teknologi bernama pintu yang dirancang untuk memudahkan kehidupan," pamer Haechan, mengagumi pintu seakan peliturnya berasal dari dinasti Qing. "Jadi, ini bisa dibuka. Nah, lihat. Manusia bisa keluar-masuk tanpa susah payah. Oke, Molla, aku pergi dulu. Jangan mengikuti kami!"

Aku langsung jatuh lemas sepeninggalannya.

"LEE HAECHAAAAN! BERANINYA KAUU!" jeritku bersamaan dengan suara yang dihasilkan program keamanan pintu depan.

Jantung, tenanglah! Bukankah kamu seharusnya sudah berhenti berdetak? Kenapa ini ribut sekali?

Biar begitu, bisa-bisanya! Bisa-bisanya dia dengan kalem menembus tubuhku! Untungnya tinggi kami tidak sejajar. Kalau iya, maka akan terasa seperti kami berciu… berciu.... tamatlah aku.

Sudah, sudahi sampai sini. Ayo kembali ke waktu dimana aku akhirnya memutuskan pergi keluar ketimbang menonton bersih-bersih bersama manager kulkas.

Rasanya kehilangan harga diri jika menceritakan bukannya berusaha mengejar mereka, aku malah membeku, lebih batu dari patung. Butuh lima menit untuk meraih kesadaranku kembali.

Bodoh, tentu saja sudah terlambat. Mobil yang mereka tumpangi telah berbaur dengan lalu-lalang di jalan pagi. Aku tetap tidak bisa mengenali van hitam mereka meski sudah berjalan di udara seperti sekarang.

Jangan lupa, ini Seoul.

Tingkat debu halus yang kian darurat tidak mampu membendung pergerakan. Sibuk, sibuk, sibuk. Bagai jantung yang berdenyut supercepat. Dan di antara kerubungan itu, ada yang tidak sadar tengah melakukan apa, ada yang menunggu matahari cepat-cepat pergi, dan ada juga yang berpikir untuk segera mati.

Seperti gadis itu.

Dia berdiri di pinggir jembatan, mengunyah teokpokki berbumbu merah. Ransel masih tersandang di bahunya. Tidak ada anak sekolah Korea yang pulang pukul dua siang. Aku tahu begitu teokpokki-nya habis, dia berniat untuk menceburkan diri ke sungai yang tampak tenang di bawah.

Bisikan setan merayu-rayu di cuping telinga gadis itu. Itu bukan narasi semata. Benar-benar ada hantu di sebelahnya. Menggoda dengan kata-kata yang seperti bisikan dari depresi di kepala.

Hantu itu memutar lehernya dan berdesis-desis menyadari keberadaanku.

Ugh, mungkin yang seperti ini baru bisa menakuti Haechan. Aku tidak tahu bagaimana cara dia mati sampai wujudnya sehancur itu. Aku membayangkan dia pernah terserempet kereta dan terseret di jalanan berbatu sejauh satu kilo.

Terserahlah, bukan urusanku. Oh, benar, aku tidak akan melakukan apapun untuk mencegah gadis itu bunuh diri. Haish, aku sendiri sudah mati ditambah gentayangan begini. Siapa tahu hidupnya memang sangat buruk dan kematiannya adalah jalan pergi terdamai.

"Oh, Eomma?" Aku masih bisa mendengar percakapan via telepon terakhirnya. "Tidak, aku masih di sekolah."

"Apa maksud Eomma? Aku baik-baik saja."

Aku berhenti menjauh.

"Tidak, tidak, jangan berpikiran yang aneh-aneh. Aku kan seperti ibu, kuat." Suaranya hampir hilang di kata terakhir.

"... Eomma, hari ini aku boleh bolos? Aku ingin pulang sekarang juga... Mmm, buatkan aku ramyeon, ya. Yang pedas, pakai telur."

Aku salah. Ini bukan percakapannya yang terakhir. Dia sekarang menangis habis-habisan, tapi air matanya itu sekaligus menghanyutkan keinginannya untuk mati.

Senyumku masih ada tatkala pemandangan sekitar tiba-tiba berubah warna menjadi malam. Sungainya menjadi cermin sempurna yang merefleksikan nyala gedung-gedung pencakar langit.

Tidak ada bintang, gadis itu, ataupun hantu yang mencoba menggodanya untuk bunuh diri. Sebagai gantinya, ada gadis lain yang berdiri di atas pagar jembatan. Rambutnya berhamburan dipikat angin dari mobil-mobil yang mengebut. Gadis bergaun cokelat.

Aku berteriak

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Aku berteriak. Kepalaku serasa dihantam berton-ton beban. Irama napasku terbelah. Aku tersungkur di jalanan beraspal yang sudah kembali siang.

***

a.n :
Ketika tau ada yang baca meski satu orang, atmosfernya jadi beda haha. Terima kasih banyak semuanya, sehat selalu ya.

[END] See You When You Can See MeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora