🧷19

465 124 5
                                    

Namun, senyumku mendadak surut menyadari aku punya PR lain. Memberitahu para member untuk segera mengganti kata sandi rumah. Kalau tidak, itu namanya sia-sia. Kejadian ini bisa terulang kapan pun dan belum tentu aku—juga mereka, seberuntung kali ini.

“Sial, kenapa Jisung malah pergi?” Wanita itu mengumpat, nyaris membanting ponsel dalam genggamannya. Kuharap dia benar-benar melakukannya untuk meninggalkan bukti fisik yang bisa digunakan di kemudian hari.

“Mereka pergi? Apa ada urusan mendadak?”

“Mana kutahu!” serobotnya dongkol. “Ayo, kita juga harus cepat-cepat!”

“Lho, katamu tadi...?”

“Bagaimana kalau ada orang lain yang datang lagi? Kau rela masuk penjara padahal tidak bertemu mereka sama sekali?!”

Tergesa-gesa mereka memasang masker dan topi, kemudian menyelinap pergi persis anak tikus yang berusaha tidak menimbulkan suara.

Menghirup napas, aku memutuskan tidak membuang energi cuma untuk menyumpah-nyumpah lagi. Setelah yakin mereka berdua sudah hengkang dari gedung ini, buru-buru kukejar kendaraan yang membawa Renjun dan Jisung. Aku harus bersyukur pada kemacetan menjelang malam, juga warna merah mencolok dari mobil mereka.

Ternyata tujuan kami adalah sebuah rumah-studio mungil yang tempak asri dengan halaman didominasi warna kehijauan dari tanaman-tanaman hias. Karena kata ‘game’ sempat disebut-sebut, aku menebak mereka sedang syuting untuk kebutuhan konten mingguan di kanal youtube mereka.

Kami turun dari mobil dan disambut seorang lelaki yang kelihatan akrab dengan Renjun dan Jisung. Dari caranya menjelaskan bahwa para member lain sedang makan malam, aku tahu dia adalah salah seorang staf produksi. Aku masih mengekor di baris paling belakang, setidaknya sampai pemandangan yang sedikit ganjil menghentikan langkahku.

Di halaman samping yang kebetulan tersambung dengan teras depan, Haechan dan Manager Seora tengah berdiri berhadapan. Raut keduanya jauh dari kata bercanda.

Dari jarak segini, aku pasti bisa mendengar percakapan mereka jika fokus. Tetapi sekarang ini, mereka tampak terdiam lama. Seakan-akan ada banyak hal yang ingin dibicarakan, tapi tak tahu apa yang mesti diucapkan, kata apa yang mesti memulai.

Masih dalam hening itu, kulihat seseorang muncul dari balik deretan pot tanaman gantung.

“Kalian sedang apa berdua saja?” Jeno, dan dia terlihat sedikit kesusahan memasang tampang ramah seperti biasanya.

Aku yang kadung menonton ‘drama’ ini, jelas langsung lupa tujuan awalku datang kemari.

***

“Kalian belum bersihin pecahan bingkainya? Parah.”

“Ya gimana, kita disuruh cepet-cepet balik ke lokasi,” alasan Renjun.

“Tapi, ini yakin bukan salah satu dari kalian yang nyenggol?” Kali ini Jaemin mendekat, membawa sapu dan serokan. “Bingkainya lumayan berat, lho.”

“Makanya, Hyung,” Jisung bergidik. “Aku sama Renjun Hyung lagi di dapur sana lho. Gimana bisa jatuh coba?”

“Jelas hantu.”

“Zhong Chenle!” sengit si bungsu seketika.

“Lah, apa? Udah nggak ada lagi kemungkinan lain, ‘kan?”

“Berisik!”

Aku tersenyum kecil. Sejujurnya, bagiku juga itu merupakan sebuah teka-teki.

Iya, aku yang menjatuhkannya, tapi bagaimana caranya? Tubuhku ini sudah ‘didesain’ persis angin, lebih canggih malahan. Namun, pada momen itu, apa yang membuat jagat raya berbaik hati membuatku bisa menyentuh benda dari dunia makhuk yang hidup?

Tangisanku? Keputusasaanku? Betapa jahatnya kalau benar. Aku bahkan tak tahu apakah aku bisa menangis seperti itu lagi.

“Kalian bener nggak liat siapa-siapa?”

Renjun menoleh berkat pertanyaan Haechan. “Siapa?”

“Mungkin, perempuan rambut panjang....”

“Hyung stop!”

“Oke, lupain,” Haechan mengangkat tangannya. “Jeno kemana ngomong-ngomong?”

“Tadi di sini. Udah ke kamarnya kali.”

Mengangguk-angguk, Haechan lalu menepuk bahu Jaemin yang masih berjongkok untuk membereskan kekacauan yang kubuat. “Oke, gue juga ke kamar ya. Kalian bantuin Jaemin.”

Ditinggalkan berempat, Chenle yang sedang memanjangkan kakinya di sofa berceletuk. “Mereka berantem?”

“Hah? Soal apa?” Lagi-lagi Renjun tampak tidak sadar.

“Jeno Hyung sama Haechan Hyung. Pas on-cam mereka cuma ngomong seadanya. Di jalan pulang aja diem-dieman.”

“Jisung-ah,” Jaemin yang sedari tadi anteng akhirnya angkat suara. “Ini, taruh di samping tempat sampah dapur ya. Di samping, jangan dimasukkin. Kalian inget, itu isinya pecahan kaca. Hati-hati,” jelasnya panjang-lebar sambil menyerahkan kantong plastik hitam.

Sementara Renjun ikut berinisiatif merapikan sapu dan serokan, Jaemin kemudian mengeluarkan ponsel sambil memandang ke arah ruangan dalam.

Jeno biasanya bisa diajak ngomong kalo segeran abis mandi. Selesain gih baik-baik. Aku bakal ada di kamar Jisung.

Demikian isi pesannya pada Haechan.

Kukira hari ini akan berakhir sampai disini. Di saat para member yang satu-persatu masuk ke kamarnya dan aku yang menepati janji untuk tak masuk ke kamar yang tertutup. Lalu aku aku akan berujung merenung sepanjang malam di ruang tengah, memikirkan soal kata sandi rumah.

Tapi, jagat raya hari ini memang sedikit aneh. Jika ia memiliki kepala, mungkin kepala jagat raya habis terbentur dan sekarang masih dalam keadaan pusing.

Tak kusangka aku akan menerima kebaikan hati lagi.

Panggilan yang lama tak kudengar. Nama yang aku tak tahu bisa membahagiakanku sampai sebesar ini.

“Molla?”

***

[END] See You When You Can See MeWhere stories live. Discover now