🧷18

468 134 8
                                    

Ini adalah saat terparah dimana aku mengutuk eksistensiku yang bukan manusia.

Ketika entah Renjun atau Jisung memasukkan sandi kunci pintu, suara tit-tit-tit itu terdengar bergema sangat keras di dalam. Sekejap membuat aku dan dua sasaeng ini terpaku lupa bergerak.

“Siapa itu?! Katamu, hari ini pasti aman!”

“Aku juga tidak tahu! Lihat, temanku tidak mengabariku apa-apa. Sial, apa dia benar-benar melakukan tugasnya?”

“Ki-kita harus bagaimana sekarang?”

Pertanyaan yang sejak tadi terperangkap di kepalaku itu menghancurkan keterpakuanku. Sontak, aku berlari melintasi ruang tengah. Setibaku di lorong pendek pintu depan, lampu sensorik di sana menerangi bayangan Renjun yang sedang melepaskan sepatu sementara Jisung sendiri tengah mengecek ponsel.

“Hyung, semua marah-marah di grup chat. Awas aja, kapan-kapan kita yang ditinggal pulang, katanya,” lapor Jisung kemudian.

“Bilang, terserah, gitu,” tukas Renjun, melempar tawa penuh ejekan. “Sepatumu masukin ke rak, jangan lupa.”

Gigitanku di bibir sendiri menguat. Bisa kudengar dari sini, dua penyusup berengsek itu memutuskan bersembunyi entah di ruangan mana. Dan seiring satu demi satu Renjun melangkah masuk, semakin aku meneriakkan pertolongan.

Lalu entah kenapa, nama yang pertama kali terbersit di benakkuadalah Haechan.

Aku hanya merasa ... dia bisa mendengarku. Dia bisa melakukan sesuatu untuk menolongku.

“Lapar nih. Masak apa enaknya?” Mungkin aku harus bersyukur karena Renjun langsung berbelok ke dapur, arah sebaliknya dari tempat sasaeng itu berada.

“Masa masak, sih?” protes Jisung. “Delivery aja udah. Aku mau mandi dulu.”

“Tidak boleh,” sambarku gelisah. “Kamarmu...,” aku menoleh ke belakang. Untuk pergi ke kamarnya, Jisung harus melewati ruang tengah dan ruang berbalkon tempat jemuran pakaian itu.

“... tapi bukankah kalau yang datang itu para member, berarti kesempatan bagus?” Sempat-sempatnya mereka mengobrol saat tengah bersembunyi di rumah orang lain.

“Apa maksudmu?”

“Hei, kapan lagi kita bisa bertemu muka ke muka secara pribadi, terlebih di tempat tinggal mereka sendiri? Mereka pasti akan mengingat momen ini seumur hidup!”

“Pokoknya tidak boleh,” suaraku bergetar. “Nanti saja mandinya, Jisung. Kumohon.”

Haechan, kau bisa mendengarku?

Dua wanita itu sinting. Jika kau ajukan pertanyaanmu dulu, mereka takkan merasa segan untuk memilih yang kedua. Tak penting bagaimana caranya, mereka jelas lebih suka diingat ketimbang dilupakan. Mana peduli pada rasa sakit yang akan menjadi sebab-akibat, karena mereka itu sinting.

“Itu... ide yang bagus. Tapi setelahnya bagaimana?”

“Halaah, telepon saja pengacara. Pemilihan kota sebentar lagi, orangtuaku takkan pernah membiarkanku dipenjara. Eh, make up-ku masih bagus, ‘kan?”

Ah, aku lupa.

Haechan sudah tak bisa mendengarku lagi. Aku sendirian.

Iya, 'kan? Dulu ataupun sekarang, aku selalu sendirian.

“Ya udah, sana mandi. Nanti kupanggil kalau makanannya udah dateng.”

Aku memejamkan mata. Hatiku berontak, memaki-maki diri sendiri agar bergegas melakukan sesuatu.

Lalu kebetulan saja, hal pertama yang kulihat ketika membuka mata adalah sebuah bingkai foto yang terpajang di meja kecil ruang tengah.

Tanpa pikir panjang, aku menghambur kesana. Jisung yang sudah berjalan meninggalkan dapur memaksaku mengambil taruhan untung-untungan ini.

Kupandangi jemariku lamat-lamat. Kumohon. Kali ini saja.

Aku mendekatkan jari-jariku kepada bingkai itu. Dipenuhi oleh harapan dan debaran jantung sendiri, kuayunkan tanganku seketika.

Gagal. Bingkai foto itu masih tegak berdiri. Tanganku menembusnya.

Tidak, sejak awal aku tahu ini tidak akan mudah. Bahkan mendekati mustahil.

Aku menarik napas lagi. Mencoba lagi.

“Kumohon, kumohon. Jatuhlah,” rapalku terus-terusan.

Terus, terus, dan terus. Aku terus bertaruh, tetapi di saat yang sama harapanku kian terkikis. Sedetikpun aku tidak bisa menyentuh bingkai itu, apalagi menjatuhkannya untuk menimbulkan keributan yang akan menakuti dan mengusir Jisung dan Renjun dari sini.

“... aku bisa melihatnya, aku bisa melihatnya! Itu Jisung!”

“Astaga, kau serius?”

“He-hei, bagaimana ini?! Aku gugup! Haruskah aku telanjang di sini sekarang? Bayangkan betapa lucunya reaksi bayi kita nanti!”

Untuk pertama kalinya sejak datang ke dunia ini sebagai arwah, aku merasakan pipiku basah. Seperti sesuatu menyumbati jantungku, menimbulkan rasa sesak tiada ujung yang mungkin disebut kemarahan atau keputusasaan.

Sebanyak apapun aku mengayunkan tangan, sebanyak apapun aku berdo’a, sebanyak apapun kukatakan aku akan melindungi mereka; tanganku tetap menembus bingkainya.

Tak menunggu lama, isakanku lantas pecah. Kurasa, aku kalah. Taruhanku gagal total. Sudah dapat kulihat, betapa rasa bersalah ini akan menghantuiku selamanya. Aku teramat membenci ketidakberdayaanku melakukan hal sekecil ini.

“Eh, Haechan Hyung nelepon! Angkat jangan, nih?”

Tangisku sontak terjeda. Apa? Siapa...?

“Mana, sini. Biar kuangkat. Dia pasti nelepon kamu soalnya teleponku mati.”

Sosok Jisung yang muncul kembali di ruang tengah memberiku perpanjangan napas. Susah payah, aku menegakkan tubuhku, memilih bertaruh lagi tanpa mengeringkan jejak air mata.

“Ya kami udah pulang dong. Kan itu hadiahnya,” Renjun terdengar sudah mengangkat panggilan telepon itu. “Hah? Ada ronde kedua? Ya mana kita tau! Makanya, sebagai MC, tugasmu itu menjelaskan secara rinci peraturan game—“

Prang!

Aku merasakan lututku lemas. Berhasil. Taruhanku berhasil.

Terima kasih... Haechan.

“... nggak tahu. Cuma ada kami berdua di sini.” Tidak, Renjun. Kamu salah besar. Cepat lari.

Ujung mataku melihat Jisung keluar dari dapur yang bersebelahan dengan ruang tengah ini.

“Hyung, bingkai fotonya....”

Renjun ikut muncul dengan telepon masih menempel di telinganya. Dia sempat terdiam mirip orang dibekukan, sebelum menggeleng-gelengkan kepalanya seperti menyadarkan diri.

“Ah, nggak. Itu... bingkai fotonya jatuh. Angin?”

“Hyung, itu bingkai kayu. Bukan kertas.”

Mereka berpandangan sementara kubisikkan dari jauh kata-kata agar segera angkat kaki dari sini. Kalau keberuntunganku memang sebanyak itu, mungkin Haechan di telepon bisa mendengarku... lagi, dan memberitahu mereka.

“Paling itu gara-gara posisi bingkainya—"

“Haechan hyung, tadi katanya masih ada ronde kedua ‘kan?” Jisung tiba-tiba merebut ponselnya. “Aku bakal cepet-cepet kesana lagi. Iya! Renjun Hyung? Nggak tahu, mungkin dia—"

“Aku ikut, aku ikut! Ataga, repot banget, sih!” potong Renjun, tampak berusaha menutupi kepanikannya.

Aku tak bisa tidak tersenyum.

Langkah yang tepat, Sayang.

Hati-hati di jalan.

***

[END] See You When You Can See MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang