🧷20

500 133 4
                                    

Aku lebih dari dari terpana. Tercengang, terpaku, apalah itu.

"Kau... bisa melihatku...?" Mungkin telingaku yang berdengung 'kan?

"Apa maksudmu? Kau kemana saja dua mingguan ini?" Haechan bertanya balik.

"Aku..." Mulutku terbuka tapi terasa sulit sekali mengeluarkan sepatah kata. Perasaanku telanjur campur-baur walaupun dua pertiganya adalah rasa senang.

"Kukira kau sudah pergi ke alam sana," katanya, mungkin bermaksud bercanda. Aku juga bermaksud tertawa, tapi yang keluar adalah ringisan.

"Sebentar, aku mau ambil minum," Haechan berlalu dari hadapanku.

Aku bertingkah seperti orang bodoh, belum bisa beranjak dari tempat. Kukira aku bermimpi. Tapi aku sendiri tidak pernah bisa jatuh tidur.

Terlalu banyak 'tapi' gara-gara aku masih tidak yakin dengan situasi yang terjadi.

Tak berselang lama, Haechan kembali membawa sepasang minuman kaleng yang masih berembun.

Tanpa menyalakan lampu, dia menghampiriku, lantas duduk tepat di sampingku. Di karpet yang menjadi ruang kecil antara meja dan bagian kaki sofa. Lampu balkon yang menembus tirai menerangi kami dari belakang, menjadi satu-satunya remang penerangan yang ada.

"Ah, aku malah membawa dua," dia tersenyum geli, meletakkan salah satu kaleng minuman di meja, berdekatan dengan remote televisi. "Kenapa melihatku seperti itu? Aku memang kadang lupa kalau kamu itu hantu."

"Kau... benar-benar bisa melihatku?" ulangku, masih gagu.

Dia mengernyit aneh.

"Kau... kemarin berpura-pura?" tuduhku, terlalu cepat mengambil kesimpulan. Bagaimanpun, ini terlalu mendadak!

"Apa maksudmu? Kemarin-kemarin kau pergi dari dorm karena marah, 'kan?"

"Aku di sini," selaku, menelan ludah. "Aku selalu ada di sini, Lee Haechan."

Kami bertatapan, saling mencoba menemukan kebohongan di masing-masing mata. Dan, aku menyerah lebih dulu.

"Kau tidak bohong?" Aku berusaha memastikan sekali lagi.

"Apa untungnya bagiku? Kau juga bicara jujur?"

Aku mengangguk kecil, membuat Haechan mendesis sambil membuka segel minuman kalengnya. Dia lantas meneguknya seolah-olah begitu haus. Aku melihat isinya tersisa setengah ketika ia diletakkan di sebelah kaleng pertama.

"Bagaimana hal itu mungkin?" tanya Haechan.

Gelenganku terbit. Ini menyangkut hal-hal penting dalam hidupku. Rasa penasaranku jauh lebih besar darinya. Aku tidak akan menyembunyikannya kalau memang tahu sesuatu.

"Ah," aku tiba-tiba saja teringat. "Hei, apa kau tidak melihatku saat kalian pulang tadi?"

"Kau di sini?"

"Tepat di samping Jaemin saat dia membereskan pecahan bingkai itu," tuturku.

Haechan balas menggeleng. "Aku benar-benar baru melihatmu saat keluar dari kamar barusan. Sumpah."

"Ada hal khusus yang kaulakukan barusan?" aku mendesak.

"Aku hanya ganti baju... cuci muka, dan pakai skincare...."

"Skin... care?" Aku bertaruh raut mukaku berubah menjadi sangat dungu. "Kau... mendapatkan skincare-mu itu dari mana?" Dengar pertanyaanku ini. Tertawa saja.

"Eiii, jangan bilang kau mengira produk perawatan kulitku ini ada hubungannya dengan aku bisa atau tidak bisa melihatmu?" Haechan jelas-jelas menghina pemikiranku.

[END] See You When You Can See MeTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon