🧷14

455 124 5
                                    

Di tengah perjalanan pulang, para member sempat dengan kompaknya menolak ajakan seorang staf untuk makan malam di luar. Mereka beralasan, lebih nyaman makan di dorm setelah bersih-bersih badan terlebih lebih dahulu. Kenyataannya, cuma Renjun dan Chenle yang menepati ucapannya.

"Jeno-Jaemin Hyung masih kenyang katanya," lapor Chenle, berdiri di sebelah Renjun yang tengah berdiri di depan kompor, mengaduk sepanci kecil sup ayam dan sayuran.

"Kenyang apanya, makan aja belum," ia menggeleng-geleng. "Eh, cek kulkas coba. Perasaan ada telur. Selada juga keluarin."

"Jisung udah tidur. Haechan Hyung juga nggak mau makan?" Chenle bertanya sambil melakukan apa yang  diminta.

"Dia masih mandi. Katanya duluan aja, ntar nyusul." Renjun lantas menyisihkan kuah supnya ke piring kecil. "Cobain ini. Kutambahin merica lagi nggak papa?"

"Sip. Ini selada bersih, 'kan? Nggak usah dicuci lagi?"

"Iya, bersih. Tata di meja bareng mangkuk sama sendok-sumpit. Kimchi masih nyisa?"

"Masih."

"Berarti tinggal nasinya."

Begitulah cara Renjun dan Chenle berkolaborasi menyiapkan meja.

Setahuku, memang ada seorang bibi yang khusus bertugas mengurus makanan sehari-hari member. Sup ini pun bukan buatan Renjun, melainkan sudah tersedia jadi dan mendingin di dalam tudung saji ketika kami pulang. Renjun berinisiatif menghangatkannya.

Entahlah, mereka sering menyelingi percakapan dengan Bahasa Mandarin, jadi aku tidak begitu paham detailnya.

"Kalian makan saja duluan!"

Chenle sedang memindahkan nasi hangat ke dalam mangkuk sewaktu suara Haechan terdengar jauh dari dalam. Aku bisa membayangkan dia menyembulkan kepala ke luar kamar dan berteriak.

"Kenapa?" balas Renjun, ikut membesarkan volume suaranya.

"Masih kenyang!"

"Itu lagi, itu lagi. Terserah deh."

Aku bisa merasakan rasa kesal Renjun. Jelas-jelas mereka semua cuma sarapan roti dan makan snack tadi siang. Segera saja  kutinggalkan dapur.

"Hei. Aku masuk nih. Kau sudah pakai baju, 'kan?"

Tidak ada sahutan. Namun, aku bisa mendengar bunyi-bunyiam yang familer di telinga. Biar kuingat-ingat. Bukankah itu... suara yang dihasilkan game dari komputer?

"Game lagi—oh?" Aku menelan omelanku karena Haechan ternyata sedang mendengarkan sesuatu di teleponnya.

Dia duduk di hadapan komputer yang menayangkan tampilan game yang dijeda. Mulut Haechan yang tadinya menggumamkan 'mmm', mendadak menipis melihatku.

"Aku mengerti. Terima kasih," tutupnya, mengakhiri panggilan tak lama kemudian.

Sambil meletakkan ponselnya di dekat papan ketik, Haechan memandangku sekilas. Kukira dia hendak mengatakan sesuatu, alih-alih langsung menekan tombol untuk melanjutkan kembali game-nya.

"Kau main game sampai melewatkan makan?" komentarku tak tahan juga.

Dia mendengus. "Ini caraku me-refresh diri. Kau tidak akan mengerti."

Kuperhatikan layar komputernya. Yah, aku memang tak mengerti letak serunya ada di mana. Member-member lain menyukai game juga. Aku sering melihat Jisung, Jeno—ah.

"Ngomong-ngomong," aku mendudukkan diri di kasur, membuat wajahku menghadap punggung Haechan. "Apa kalian kenal Manager Seora secara pribadi?"

Haechan butuh beberapa waktu untuk menjawabku, "Kenapa memangnya?"

"Aku mendengar pembicaraannya di telepon dengan seseorang."

"Kau tahu betapa tidak sopannya menguping itu?"

"Tidak sengaja. Dia datang ke ruangan make-up setelah kau pergi itu," aku membela diri.

"Sama saja." Jemari Hacehan di keyboard terus menghasilkan bunyi ctak-ctik yang lincah.

Aku memutar bola mata. "Tapi kau tahu, berkat itu, aku jadi mendengar sesuatu yang menarik."

"Nanti saja," sergah Hacehan.

"Lawan bicaranya laki-laki. Mereka tampaknya punya hubungan yang—"

Ctak!

Setengah terkaget, ucapanku terputus. Kupandangi Haecan penuh tanda tanya.

"Jangan dilanjutkan, Molla." Gerakan tangan Haechan tampak menghilang. Sepertinya game-nya sudah selesai atau di pause lagi.

"Kenapa?" Ujung mataku berkerut, mengarah pada belakang kepalanya. 

"Aku tidak mau mengetahui lebih dari yang pantas kuketahui."

"Tapi ini penting! Aku yakin Jeno juga belum tahu," bantahku, tak suka pada ketidaktertarikan yang Haechan kesankan.

"Serahkan ini pada mereka berdua...."

Aku prakis berdecah sinis. "Kau yakin? Manager Seora sepertinya memiliki masa lalu yang berantakan."

"Molla...."

"... dia datang ke Seoul untuk kabur, aku yakin."

Lantas, yang Haechan katakan selanjutnya membuatku membelalak. "Apa katamu tadi?" ulangku, menguraikan kaki yang awalnya saling terkait.

"Kau dengar," Haechan akhirnya memutar kursinya, menghadapku. Tajam dan serius. "Jangan melangkah terlalu jauh, kuperingatkan lagi."

"Yang sebelumnya!" aku mengamuk.

"Berhenti mencari perhatian!" Dia membentak, jelas-jelas terprovokasi. "Seora Noona adalah staf kami juga. Dia mendapatkan posisinya dengan cara yang legal. Jadi jangan lakukan ini!"

Otakku mandek, terlalu tercengang sampai-sampai tak menangkap selain pada kalimat pertama yang kukira aku salah dengar. "Kaubilang, aku. Mencari. Perhatian?"

Desahan Haechan merebak, tetapi sorot matanya tetap menatapku penuh penghakiman.

... kalau saja malam itu aku berhenti sampai sini.

"Bagaimana bisa kau  menganggapku hanya mencari perhatian?!"

"Tolong," dia mendesis seperti ular yang marah karena diusik. "Tolong jangan membuatku berada di posisi yang sulit dengan memberitahuku hal-hal yang tidak seharusnya."

"Kau serius?" Aku masih tersinggung sampai suaraku bergetar. "Dari sisi mana aku terlihat seperti mencari perhatian? Aku hanya kebetulan melihat semuanya—"

"Dan aku juga hanya kebetulan bisa melihatmu! Itu juga bukan keinginanku!"

Ya.
Jika aku mengalah sejak tadi, aku mungkin tak perlu mendengar ini.

Sekarang, haruskah aku tertawa?

Menertawakan Haechan yang terus memandangku berapi-api. Menertawakan Manager Seora. Menertawakan game bodoh itu. Atau menertawakan malam. Apa saja, asal bukan menertawakan diriku sendiri yang kini membeku seperti boneka kayu.

Jadi, sebelum Haechan menyadari ekspresiku yang menjijikan, aku memaksa tubuhku berdiri. Kurasa berat badanku bertambah. Berat. Berat sekali.

"Kau benar. Aku salah," ucapku serak. Kubuang muka ke samping, merasakan retina Haechan mengikuti pergerakanku. "Aku minta maaf kau harus... jadi satu-satunya orang yang bisa melihatku...."

Sial. Aku tak senang mendapat kehormatan merasakan emosi sekacau ini di saat aku sendiri bahkan tidak punya raga pribadi.

***

[END] See You When You Can See MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang