🧷30

467 127 43
                                    

"Kaupikir hidupmu akan tenang-tenang saja setelah menghancurkan hidupku?"

Aku tahu dia berengsek. Aku tahu dia bedebah sejati. Dia adalah rangking satu dalam memanipulasi pikiranku.

"Bahkan setelah ibumu membuat tunanganku kabur, aku masih berbaik hati mencari kontakmu untuk mengabarkan kematiannya."

Dan aku juga tahu dia hanya mau melihatku mati sebelum mati.

***

"Ha Eun."

"Siapa?"

"Gadis itu. Namanya," Manager Seora mengulang. "Ha Eun."

Aku merasakan tatapan Haechan dan Mark. Tapi aku diam. Aku terus diam sedari tadi.

Memangnya apa yang harus kukatakan?

"Siapa dia?"

"Pacarku."

"Ibu tidak menyukainya."

"... sejak awal, adakah hal tentangku yang kau suka?"

"Jaga bicaramu pada ibumu, Kang Ha Eun!"

Sekarang, aku tahu Ibu benar.

Dia berengsek. Tapi Bu, Si Berengsek itu berkata hal yang benar untuk pertama kalinya.

Lancang sekali aku berharap hidup bahagia setelah menghancurkan hidupnya.

"Tolong," rintihku pada akhirnya. Aku tidak tahan lagi. Ini terlalu menyebalkan. "Jangan biarkan dia menyentuh kalungnya. Tolong."

"Dia?" Haechan bertatapan dengan Mark. "Renjun?" Dia yang berada tepat di sebelahku berbisik. "Kenapa?"

"Managermu!" Suaraku sedikit tercekat. "Kumohon padamu, Haechan. Jangan biarkan dia menyentuh kalungnya," sambungku terguncang.

Aku lantas menatap Mark di ranjang dengan pandangan yang membuat dahinya berkerut. Itu ucapan terima kasihku.

Berkat kehebohan yang dibuat Mark seharian ini, Haehan dan aku lupa bertukar cerita Manager Seora yang kucuri dengar kemarin. Berkat dia, aku sejenak menghirup udara yang sangat sejuk.

Cerita Manager Seora?

Bodoh, itu ceritaku.
Cerita kebodohanku sendiri.
Kejahatanku seorang.

"Apakah teoriku tentang bisa melihatmu setelah menyentuh kalungnya benar?" Haechan berkata lagi, tepat di telingaku.

Aku mengenggelamkan wajahku pada telapak tangan. "Tidak tahu, aku tidak tahu. Aku tidak peduli-"

"Itu mungkin saja. Benda yang dimiliki seseorang dalam waktu lama, bisa jadi mempunyai suatu energi yang menghubungkan kita padanya."

Dan aku mengenakan kalung itu sepanjang hidupku. Orang ini tahu terlalu banyak.

"Tapi aku... tidak menyentuh kalungnya ketika pertama datang, dan aku langsung bisa melihatnya."

"Artinya, kau serius butuh beristirahat."

"Bagaimana?"

"Kondisimu. Orang yang sedang kelelahan atau sakit, sangat mungkin bersinggungan dengan dunia yang bukan dunianya. Dia tidak punya tenaga untuk membuat dirinya tetap berada di tempat seharusnya. Dan ketika kembali sehat, kebanyakan dari mereka menganggap ingatannya itu adalah halusinasi karena kelelahan."

Kubilang, perempuan ini tahu terlalu banyak.

Aku membencinya. Sejak awal.

"Aku tahu banyak karena katanya aku termasuk peka dalam hal intuisi, meski mataku tidak punya keistimewaan yang sama. Boleh-kulihat kalungnya?"

"Haechan!" seruku, tersentak sendiri. Kepalaku menoleh cepat, lupa kalau di dalamnya masih ada nyeri yang langsung menamparku saat itu juga. Aku mengaduh, merasakan urat-urat pelipisku menegang.

"Noona... tahu apa yang terjadi pada dia sekarang?"

Terima kasih, Haechan. Sungguh terima kasih.

"Sebelumnya boleh kutanya, apa dia ada di sini?"

Aku memejamkan mataku.

"Apa dia tidak mau bertemu denganku?"

Aku membuka mataku.

"Bagus, aku juga tidak mau bertemu dengannya."

Bagus. Bagus sekali.

Dia sudah tahu siapa aku.

Hampir saja aku tertawa parau. Mungkin sekarang dia menyesali sikap ramahnya dulu.

"Aku takkan menyentuh kalungmu, tenang saja. Kita tidak akan bertemu muka lagi."

Dia pikir... aku masih punya muka?

"Berikan kalungku padanya, Mark," desisku seketika. Aku berubah pikiran. "Aku serius, berikan saja. Bilang padanya aku menunggunya di luar."

***

"Dia punya perempuan lain. Mereka akan menikah beberapa hari lagi."

"... apa semua foto ini? Ibu membuntiti dia?"

"Buka matamu. Ibu sudah bilang-"

"Ibu sudah bilang, ibu sudah bilang! Tahukah ibu betapa muaknya aku mendengar kata-kata itu?"

"Kang Ha Eun. Dengarkan."

"Bisakah Ibu berhenti mengatur hidupku? Bisakah? Bisakah aku menjalani hidupku sendiri? Bisakah ibu mewajarkan aku membuat kesalahan?!"

"Bagus sekali, sekarang kita bertengkar karena pacarmu yang mendua itu?"

"Bukan karena dia! Sejak awal ibulah yang bermasalah!"

"Malam itu juga, aku mengemasi barang-barangku. Membawa sisa tabungan yang nyaris habis untuk biaya penikahan, dan pergi ke Seoul dengan bus malam. Aku ingin cepat-cepat hengkang karena tak ingin mendengar siapapun mengatakan sesuatu yang membuatku membencinya. Terutama keluargaku."

Malam itu juga, aku mengemasi barang-barangku. Aku ingin cepat-cepat hengkang bersama rasa malu, marah, tersinggung, juga patah hati.

Seumur hidupku, lelaki itu adalah hal pertama yang kupilih sendiri. Dia itu adalah pengecualian terindah ditengah semua pilihan ibuku di tiap detik hidupku.

Tapi dia berselingkuh. Aku bahkan tak perlu memastikan foto-foto yang diambil secara diam-diam itu. Ibuku yang teliti tak mungkin membuat kesalahan.

Mungkin aku ketakutan. Aku takut memastikan dan menemukan seorang wanita yang lebih cantik, lebih dewasa, lebih mandiri-kesan spontan yang kulihat dari foto-foto bagian belakangnya itu.

Jadi, aku lari.

Dia, pengecualian terindahku itu; meremukkan aku, membuatku sekali lagi mendengar kalimat, ibu sudah bilang. Aku hapal lanjutannya, turuti saja semua yang ibu katakan dan siapkan. Ini demi dirimu sendiri.

Aku mendengarnya seumur hidupku, sehari sekali seperti vitamin yang malah menghancurkanku dari dalam.

"... dia datang ketika kami sedang bersulang... menangis dan hampir berlutut kepadaku di hadapan teman-teman dan keluargaku."

Mana aku tahu ibuku bisa begitu.

***

Just a warning

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Just a warning. Aku takut diprotes kalo tiba-tiba masukkin kata "tamat" di chapter depan 🤧

[END] See You When You Can See MeWhere stories live. Discover now