🧷13

462 122 2
                                    

"Manager-nim!"

Menguliti...? Kata itu memutari isi kepalaku dibarengi perasaan waspada yang riil. Apa aku benar tidak salah dengar?

Aku serius. Maksudku, Manager Seora yang serius. Aku tak melihat keragu-raguan di netranya barusan. Ibarat dia yakin tak bisa membendung nafsu membunuhnya bilamana lelaki dalam telepon itu nekat datang ke Seoul.

"Anak-anak SMA?"

Sebenarnya apa yang sudah Manager Seora alami di masa SMA—eih, maksudku masa lalu? Anak-anak SMA apa yang mereka bicarakan?

"Iya, mereka bergerombol di pintu depan." Staf wanita itu menggaruk tengkuk. "Ada sekitar empat puluh orang, mungkin. Informasinya sudah bocor."

"Sudah mencoba bicara dengan mereka?"

"Sudah. Kami juga melarang mereka untuk memotret. Tapi beberapa masih bandel," bebernya frustrasi, mengikuti langkah panjang-panjang Manager Seora.

"Untuk sekarang, kalian halangi saja itu. Aku akan bicara dengan ketua," dia mengomando. Aku ingin tepuk tangan untuk kecepatan Manager Seora menyingkirkan urusan pribadinya dulu selama bekerja.

Selanjutnya, dia sibuk berdiskusi dengan pria bertopi kelabu. Jaemin dan Renjun juga turut serta, manggut-manggut terhadap pembicaraan yang tidak kumengerti.

"Para member ada di mana?"

"Haechan di luar. Chenle tadi ke toilet." Jaemin menunjuk ke sebelah. "Kalau Jisung... itu mereka datang."

Yang diobrolkan menyeruak muncul bersama Jeno, bergandengan tangan tergesa-gesa. "Di luar ramai sekali, Hyung," lapornya langsung, sesaat setelahnya.

"Kami tahu," Manager Seora mengulurkan tisu, merujuk pada keringat di dahi Jisung. "Aku akan mengawal Haechan di halaman. Kalian tetap di dalam, oke?"

Mungkin cuma aku yang menyadari tarikan Jaemin di lengan baju Jeno. Pandangan mereka bersitubruk, lantas Jaemin menghadiahkan gelengan pelan; membuat Jeno menipiskan bibir. Dia pasti ingin menemani manager kesayangannya—bahasa nista macam apa itu!

Lalu, aku mengekor di belakang staf yang keluar bersama Manager Seora. Selain ingin menceritakan temuanku soal Manager Seora, sedikit-banyak aku juga ingin memastikan keadaannya.

Ternyata situasi di luar lebih buruk dari dugaanku.

Kerumunan mengular di sepanjang luar pagar. Tidak terlalu dekat, tetapi cukup jelas dari tempat Haechan dipotret. Sejumlah kru dan satpam tampak kewalahan, berusaha keras mempertahankan batas. Peringatan larangan memotret jelas gagal, terkubur total di antara teriakan-teriakan norak yang terus menggema. 

Separuh berlari, Manager Seora memekarkan payung hitam yang entah sejak kapan di ada di tangannya. "Kau baik-baik saja?"

Haechan buru-buru masuk ke lingkup payung, bersembunyi dari sinar matahari dan kamera. "Apa tidak apa-apa? Bagaimana kalau ini bocor sebelum iklannya resmi tayang?" tanyanya cemas.

"Tidak papa," hibur Manager Seora menenangkan."Kami akan mengurus semuanya. Sekarang, kita selesaikan dulu sesi ini ya?"

Mendapat anggukan, Manager Seora lekas beralih ke kameramen yang berada di dekatnya. "Buat ini sesingkat mungkin, tolong," instruksinya penuh.

Dia kemudian mundur, mencari posisi yang tidak menggangu jalannya pemotretan, tapi tetap bisa menghalangi para fans menggunakan payungnya yang belum ditutup.

"Wah," aku otomatis berdecak salut. Haechan memang seorang artis. Dia bisa mengembalikan suasana hatinya dan mulai tersenyum legit  pada lensa kamera.

Kecuali dia jadi tidak mengindahkan kehadiranku, aku pasti akan mengira semua baik-baik saja.  

***

"Itu mereka!"

Pekikan itu memicu para member melakukan hal yang serupa; menyembunyikan wajah sebisa mungkin.

Renjun dan Chenle menaikkan maskernya, Haechan juga Jeno kian menunduk dalam, Jaemin menurunkan ujung topinya, lalu Jisung mempererat pegangan di bagian atas tudung jaket yang ia kenakan.

Padahal kami sudah diam-diam keluar lewat jalan belakang. Ini pun sudah merangkak jam dimana gadis-gadis berseragam seperti mereka semestinya telah memakai piyama manis di rumah masing-masing.

"Jisung-ah!"

"Aku mengikuti kalian sejak debut!"

"Tolong terima ini!"

"Minggu depan kamu ulang tahun, 'kan? Sengil chukkae!"

Malah aku yang mengurut jidat.

Tidakkah gadis-gadis ini belajar sedikit tentang psikologi gestur tubuh yang zaman ini bertebaran di internet?

Tidakkah terlihat, dibalik senyum kesopanan yang mereka jaga terkandung kelelahan, ketidaknyamanan, juga rasa risih yang jelas?

Tidakkah?

"Menurutmu, lebih baik diingat dengan cara yang buruk, atau terlupakan sama sekali?" Haechan bertanya, seusai berhasil menerobos kerumunan dan duduk mengatur napas di dalam mobil; tiba-tiba dan bernada kecut.

"Maksudnya mereka tadi?" Renjun yang berada paling dekat dengan Haechan berkerut dahi.

"Iya. Mereka harusnya tahu apa yang mereka buat seharian ini ngeganggu kita."

"Tapi, kapan lagi 'kan? Bagi mereka, ini mungkin kesempatan ketemu kita sekali seumur hidup." Renjun melepaskan masker, membiarkannya menggantung di salah satu telinganya. "Kurasa mereka pikir kita juga udah terbiasa sama situasi semacam itu."

"Apa kamu terbiasa?" toleh Haechan.

"... tepatnya terpaksa terbiasa, 'kan?"

Mereka terjeda, diam di tengah laju mobil yang konstan. Renjun membuang pandangannya keluar jendela, tidak berselera melanjutkan percakapan.

Ka-lau ka-mu? Haechan menggerakkan bibirnya ke arahku.

"Apa?"

Pertanyaan awalku tadi.

"Diingat dengan cara yang menyakitkan atau dilupakan?"

Haechan mengangguk.

Aku tersenyum pendek. "Aku tidak tahu. Tanyakan lagi padaku kapan-kapan."

***

[END] See You When You Can See MeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora