11.

616 104 4
                                    

Tondi bergegas menyalakan motor vespa biru kesayangannya di halaman rumah. Dengan hanya membawa tas berisikan laptop, ia membawa ucup si motor vespa keluar halaman. Iya, sekarang vespa biru itu punya nama. Usul Byanel dua bulan yang lalu, karena Tondi tak pernah memberi nama pada motor vespanya.

Suara jangkrik terdengar samar meski daerah sini jauh dari persawahan, mungkin hanya jangkrik lewat.

Tondi menutup gerbang terlebih dahulu, tak lupa menguncinya. Lalu melangkah memasuki halaman rumah pak brian. Di ketuknya pintu kayu jati tersebut.

"Assalamualaikum."

Tidak menunggu lama, pintu terbuka menampakkan sosok cantik bernama Cia.

"Wa'alaikumsalam. Eh, A Tondi. Sok mangga masuk dulu, lagi pada ngumpul kok di dalem."

Tondi mengulas senyuman dengan anggukan kecil sebagai respon, lantas ia melangkah memasuki rumah.

"Eh, si ujang Tondi. kadieu jang, dieu calik sasarengan. bade mulih ka bogor anjeun teh?"
(Eh, nak Tondi. Sini nak, sini duduk barengan. mau pulang ke bogor kamu tuh?)

Pak Brian dengan senyum menawannya menyuruh Tondi menghampiri. Di samping kanan Pak Brian ada Byanel, dan Tante Maya. Tondi duduk di sebelah kiri Pak Brian, sementara beliau menepuk-nepuk bahu Tondi, mengulas senyuman hangat khas seorang ayah.

"Iya, om. Besok udah masuk kuliah lagi, di suruh pulang juga sama ibu." Tondi tak lepas dengan senyumannya yang menawan, sesekali matanya melirik Byanel di sebelah Pak Brian.

Cowok berpipi gembil itu juga sibuk menyimak, sesekali membalas tatapan Tondi meski akhirnya berujung salah tingkah.

"Salam buat ibu bapakmu, yo? Kapan-kapan saya sekeluarga main ke Bogor, rindu juga suasana di sana."

Tondi terkekeh diiringi anggukan. "Siap Om! Kalau mau ke sana, kabarin aja."

Byanel tanpa sadar ikut tersenyum mendengar perbincangan mereka. Lucu saja melihat Tondi, cowok kampret itu tersenyum tanpa henti.

Kasep pisan, dan Byanel hanya bisa membatin melihat senyuman tampan seorang Samudra Tondi.

Setelah asyik berbincang, Tondi menyadari hari semakin gelap. Jadi, ia berpamitan pada orang-orang di rumah termasuk Byanel.

Dan kini, Byanel berada di luar gerbang. Nganterin Bang Tondi, katanya.

Tondi memakai helmnya, lalu menoleh melihat sang adik sepupu. Ia tersenyum lebar, kemudian mengusak rambut Byanel secara tiba-tiba.

"Gua pamit, ya?"

"Iya, lo udah pamit 3 kali ke gue."

Tondi tertawa, "jagain rumah bokap gua, sekalian bersihin kalau teras depan kotor kena debu."

"Dih? Enak bener ngomong begitu, udah kayak majikan ke babu aja, jing."

"Lah, kan emang?"

"Sebelum lo pergi, gimana kalau gue pukul dulu?"

"Oh berani?"

"Halah, kalau lo mah sikat aja sih."

"Anjay, nyali lo."

Byanel tergelak.

"Udah sih, kapan gua otw nya kalau ngobrol mulu sama lo?" Ucap Tondi.

"Bilang aja lo masih kangen gue, Bang."

"Iya."

"Buset."

"Hahaha, salim gak?"

Tondi menyodorkan tangan kanannya ke depan Byanel, sementara itu Byanel mematung sesaat sebelum mengambil tangan Tondi lalu menciumnya.

"Kampret gak usah di cium juga!" Tondi langsung menarik tangannya kembali, membuat Byanel mengulas cengiran.

"Kita kayak suami istri gak sih, Bang?"

"NAJIS. Elu suka gua kan, Yan?"

Byanel membulatkan bola matanya. "Yang bener aja! Merinding gue!"

Tondi tergelak puas.

"Kapan maneh pulang? Ngobrol sama gue gak bakal ada ujungnya," celetuk Byanel.

Tondi mengangguk, "bener juga."

Angin dingin kembali berhembus meniup tubuh tanpa jaket Byanel, sehingga dengan refleks Byanel bergerak merinding.

"Gua beneran pamit sekarang. Jangan sedih ditinggal gua, ya?"

"Ntar juga ketemu lagi."

"Ya udah, Assalamualaikum, Janardana."

Byanel tersenyum. "Wa'alaikumsalam, hati-hati di jalannya. Jangan ngebut, awas lo kalau ngebut."

"Iya-iya, gua pergi ya? Dadah kampret!" Tondi langsung menarik gas dan melaju meninggalkan Byanel.

"JANGAN NGEBUT BRENGSEK!"

Terdengar suara samar tawa Tondi dari kejauhan.

"Bisa-bisanya masih ketawa," gumam Byanel.

Ucup dan Tondi mulai tak terlihat dari pandangan Byanel, dan suasana menjadi sepi.

Entah kenapa, Byanel merasakan ada yang aneh pada dirinya. Seperti hatinya mendadak kosong, hampa, sepi. Mungkin karena baru saja di tinggal Tondi pulang ke Bogor, Byanel belum terbiasa. Dan kedepannya harus memulai kebiasaan baru lagi tanpa Tondi.

Byanel masih berdiri di tempat, lalu pandangannya menunduk. Kedua alisnya bertaut, menatap sesuatu yang aneh di bawah kakinya.

































"Lah anying dompetnya ketinggalan."

××

Huge Mood - Minsung ✓Where stories live. Discover now