29. Lebih dari Teman Cerita

Mulai dari awal
                                    

"Kamu inget dulu kamu pernah nanya kenapa aku tahu tentang Natuna?" Cakra bertanya.

"Pernah, kenapa emangnya?"

"Aku tinggalnya di sana, Run." Jawabnya tenang, Cakra memandang langit sekilas lalu tersenyum pada Aruni.

Sedangkan gadis itu tidak tahu harus merespons apa. Pantas saja Cakra waktu itu tidak mau membahas lebih banyak tentang Natuna. Ternyata, ada alasan kenapa ia tidak ingin pulang ke sana.

"Ah ... jauh banget ya ternyata? Akhirnya aku tahu alasannya."

Cakra tertawa sumbang. "Natuna tanah kelahiran Mamaku. Dulu Mama nikah sama Papa, tapi habis itu Papa minta buat tinggal di Jogja sampai aku lahir dan tumbuh di sini sampai umur lima tahun. Papa itu orang yang ambisius. Beliau nggak akan nyerah kalau udah berkorban buat sesuatu. Sesuatu yang dimaksud itu bisnisnya. Papa dulu cerita, kalau beliau pernah jadi bahan ejekan di keluarganya karena nggak punya apa-apa. Dan akhirnya Papa bisa bangun bisnis yang sampai sekarang masih dijalani. Dulu keluarga kami harus pindah ke Jakarta karena Papa butuh orang-orang untuk terlibat dalam perusahaan start up-nya. Tapi waktu aku SMA, Mama pengin kami sekeluarga tinggal di Natuna. Rindu katanya." Cakra mendengus tawa mengingat permintaan Mama saat kelulusan sekolah menengah pertamanya waktu itu.

"Jadi kami pindah ke sana, sambil Papa mengembangkan bisnisnya." Ucap Cakra diakhiri dengan senyum pada Aruni.

"Berarti kamu tinggal di Natuna udah tiga tahun?" Gadis itu merespons.

Cakra pun mengangguk, "Aku seneng hidup di sana, karena bisa menikmati keindahan alam tempat Mama menghabiskan masa mudanya. Tapi aku juga pengin keluar dari rumah karena nggak tahan sama perlakuan Papa yang selalu keras ke aku karena aku nggak pernah bisa dibanggain. Beda sama Kakakku yang selalu bisa diandalkan." Cakra menarik nafasnya, lalu membuang dengan perasaan berat di dada.

"Cakra ...." Entah mengapa mendengar cerita Cakra rasanya hati Aruni ikut sesak.

Tapi masih saja Cakra tersenyum pada Aruni seolah mengatakan ia baik-baik saja.

"Aku nggak apa-apa. Sekarang aku udah bisa sedikit demi sedikit nyusun mimpiku, Run. Walau nggak sejalan sama harapan keluarga, seenggaknya aku bisa mulai di jalanku sendiri."

Aruni membalas senyumnya, "I'm proud of you. Untuk sampai di titik ini aja mungkin sulit, tapi kamu bisa lalui itu semua, Cak."

Tiba-tiba Cakra menautkan jemarinya pada jemari Aruni, menggenggamnya sampai menciptakan rasa kejut oleh gadis itu.

"Makasih, ya. Udah jadi temen cerita saat aku ngerasa capek."

Hati Aruni terenyuh mendapatkan ucapan terima kasih dari Cakra. Mungkin, bagi Aruni, kalau lebih dari teman cerita juga tidak masalah. Tapi untuk saat ini, apakah mungkin?

Aruni tersenyum dan mengangguk, "Lebih baik kamu cerita daripada harus disimpen sendiri."

Hening sejenak, Cakra memandang langit malam yang saat ini sedang cerah, jadi paling tidak ada satu dua bintang bisa terlihat jelas.

"Sebenernya aku pengin pulang. Di satu sisi aku kangen Mama, tapi aku nggak siap ngadepin tempramen Papa. Aku pengecut ya, Run? Takut, kayak anak kecil aja. Aku benci sama diri sendiri yang kadang nggak berani ngambil risiko."

Dahi Aruni berkerut, ia menggeleng kuat. "Nggak. Jangan anggap remeh diri kamu sendiri ya, Cak. Perasaanmu itu valid kok. Semua orang, termasuk kamu berhak untuk ngerasa nggak aman, marah, atau pun itu. Mental seseorang tuh nggak bisa disepelein, Cakra. Yang penting kamu bisa kontrol sikapmu dan jangan sampe ngelukain diri sendiri atau orang lain aja udah cukup."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 24, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

At The End Of The DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang