Pintu lift terbuka. Suasana hening langsung menyambutku. 

"Di sini cuma ada ruangannya pak Linggar sus?" tanyaku penasaran.

Tanpa aku duga, suster yang mengantarku mengangguk. "Betul ibu. Di sini hanya untuk ruang direktur saja."

Wow. Diam-diam aku dibuat kagum.

"Mari silakan masuk ibu." 

Aku memasuki ruangan pak Linggar yang asing. Tapi tunggu, kok kosong??

"Dokter Linggar sedang ada operasi ibu," jelas suster itu seolah bisa baca isi pikiranku. "Dokter Linggar berpesan untuk ibu tunggu di ruangannya. Tidak lama lagi operasinya akan selesai."

Aku mengangguk seraya tersenyum. "Makasih ya sus."

"Sama-sama ibu. Saya permisi."

Pintu kembali tertutup menyisakan aku sendirian di ruangan yang lumayan luas ini.

Ruangan ini jauh banget sama ruangan pak Linggar di kampus. Interiornya pun di sini sangat menggambarkan karekter pak Linggar banget sih. Putih, hitam, abu-abu.

Tanpa sadar aku tersenyum tipis. Udah lama sekali ga berhubung dengan dia.

Pak Linggar benar-benar tidak mengusikku setelah aku memintanya menjauh. Hingga saat ini, akulah yang pulang ke padanya. Tapi sayang, aku pulang dengan membawa undangan.

Waktu terus berputar. Entah udah berapa lama aku menunggu di sini. Katanya sebentar lagi operasinya selesai tapi ga nongol-nongol!

Bahkan aku udah eneg muterin ini ruangan. Sampe akhirnya ngantuk.

"Gue tinggal tidur juga nih lama-lama."

Aku menguap. Asli ga kuat lagi. Aku putuskan untuk merebah diri di sofa selagu menunggu pak Linggar.

"Hah... Enaknya..."

Mataku yang tinggal 5 watt ini tanpa di disuruh mulai terpejam dan aku pun beneran tidur di sofa ruangan pak Linggar!

Antara bersyukur dan merutuk. Ahaha.

Bangun-bangun, ada bayangan seseorang yang duduk di sebrangku. Aku langsung melek dan terduduk tegap.

Pak Linggar yang duduk di sebrangku memakai kemeja polos seperti biasanya. Lah, aku kira dia bakal pake baju ijo-ijo gitu. Apa selama itu aku tidur? Sampe pak Linggar bisa ganti baju.

"Pak," sapaku mula-mula.

Pak Linggar tidak menjawab. Melainkan terfokus pada kertas yang sedari tadi aku bawa, kini tergeletak di atas meja bersama tas kuliahku.

"Ah iya, tanpa basa-basi saya ingin kasih ini buat bapak." Aku langsung menyodorkan kertas itu ke hadapannya.

Agaknya rahang pak Linggar mengeras. Dia nampak ga suka dengan kertas itu. Aku tertawa dalam hati.

Beberapa saat aku menunggu reaksinya, tapi kok dia tetep diem aja.

Ah ga seru.

"Jangan lupa dateng ya pak," ucapku lagi.

"Itu undangan tunangan saya sama Bisma." Aku mengigit bibir bawahku. Bener-bener penasaran sama reaksinya.

Pak Linggar terus menatap kertas itu dengan intens tanpa menyentuhnha. Lalu tiba-tiba dia tersenyum masam. Dia pun terkekeh rendah.

"Saya pikir kamu pulang karena ingin kita berbaikan. Ternyata untuk kasih undangan ya."

Aku ikut tersenyum tipis. Emang kayanya rumit banget hubunganku dengan pak Linggar. Dari awal aja aku udah ga mau jujur. Lanjut aku nolak dia. Dan puncaknya, masalah Kinan dan mba Riri-baby Rain.

"Lucu ya, dulu kamu yang minta kita pacaran pura-pura di depan Bisma. Tapi sekarang kamu sendiri yang akan jadi tunangannya."

"Kalau memang ini keputusan kamu." Pak Linggar beralih menatapku teduh. Tapi selain itu aku bisa liat kesedihan di dalamnya. "Semoga kamu bahagia. Maaf kalau saya pernah bikin kamu kecewa."

Bangsul. Kenapa pula aku jadi ikutan sedih gini... Harusnya aku bahagia liat dia menderita.

Aku berdeham sekali agar tenggorokank tidak tercekat. Aku pun bangun dari sofa itu.

"Terimakasih pak. Selama ini saya senang dan nyaman berada di samping bapak."

Tahan Rheta jangan nangis! Pak Linggar udah tersiksa gitu, masa malah lo yang nangis!!

"S-saya pamit pulang ya pak."

Dia mengangguk. Walaupun keliatan tidak rela tapi pak Linggar tidak menahanku. Dia membiarkanku pergi.

Dengan langkah kaki yang berat aku berjalan menuju pintu. Sudah hampir dekat pintu, tapi pak Linggar beneran ga ada nahan akuuu!

Sebelum menyentuh knop pintu, aku menolehnya ke belakang. Ternyata pak Linggar sedang menunduk. Kedua tangannya terkepal hebat.

Tanpa bisa aku tahan lagi, aku pun menangis.

"BAPAK KENAPA BIARIN SAYA PERGI SIHHH?!"

Dia menoleh terkejut. Aku menatapnya dengan wajah yang mulai banjir air mata.

Hiks.

"BAPAK RELA SAYA KASIH UNDANGAN GITU?!"

Dia masih diem aja. Aku yang greget sendiri, akhirnya berlari kearahnya. Aku memeluknya dengan erat duluan.

Huaaa.

Aku menangis hebat di sana.

Hiks.

"Ma-maafin saya pak."

-----------

bersambung...

:))

-----------






Pak LinggarWhere stories live. Discover now