Dengan batagor berbungkus plastik yang ada di tangan Gata, kakinya menelusuri koridor diikuti Alfa. Beberapa orang nekat menembus dinginnya gerimis untuk melihat kejadian-- yang membuat hampir satu sekolah heboh. Maaf-maaf saja, Gata memang agak bar-bar, tapi dia lagi malas diguyur hujan. Dingin. Gata itu jomblo, kalau kedinginan bisa bahaya, gak ada yang meluk.

"Bunuh diri?"

"Gila, kayaknya dia lompat dari atap."

"Siapa sih?"

"Maureen Maureen!"

"Hah? Serius Maureen lompat dari atap?"

"Mampus gue belum balikin buku catatan Maureen."

"Anjay liat-liat woy kaki gue keinjek!"

Alfa dan Gata hampir berpelukan ngeri saat bola mata mereka menatap mayat Maureen tergeletak di dinginnya aspal sekolah dengan mata melotot. Kakinya patah dan kepalanya banyak mengeluarkan darah membuat hawa sekitar dipenuhi aroma petrikor bercampur amis.

"Enggak gak mungkin!" ujar seorang pemuda yang sudah terduduk lemas di depan mayat Maureen. "Pak, Bu! Maureen gak mungkin bunuh diri!"

"Cio, tenang dulu, nak. Sebentar lagi ambulance dan polisi datang," ujar Bu Wiji--wali kelas Cio.

Rachio Erlangga. Pemuda putih blasteran yang biasa dipanggil Cio itu tidak peduli seragamnya yang basah akibat gerimis untuk meratapi teman masa kecil sekaligus cinta pertamanya tergeletak tak bernapas di pinggir lapangan. Kapten basket yang baru dilantik menjadi Ketua Osis minggu lalu itu bahkan hanya diam membeku saking tidak percayanya dengan kematian Maureen.

Cio berusaha berdiri, dengan tungkai gemetar. Laki-laki itu mendadak berlari memasuki sekolah. Alfa yang melihat Cio berlari lantas menampar bahu Gata dan berlari mengikuti Cio.

Cio berlari membelah koridor dari kerumunan seperti kesetanan. Lantas kakinya berhenti saat melihat seorang laki-laki dengan mata setengah tertidur duduk di anak tangga paling bawah. Alfa ikut menghentikan larinya secara mendadak membuat Gata yang sedari tadi ikut berlari di belakangnya menabrak punggung Alfa hingga keduanya jatuh terjerembab di lantai sekolahan.

"Kampret lo berhenti gak bilang-bilang!" ujar Gata.

"Lo yang lari gak liat-liat njir."

Wajah ramah Cio berubah menajam dengan tatapan sedingin gerimis kala itu, tangannya ikut terkepal menandakan laki-laki itu tengah dikuasai amarah. Cio menarik kerah baju anak laki-laki itu membuatnya berdiri secara paksa. Lantas pukulan pertama Cio layangkan hingga laki-laki itu tersungkur.

Alfa cepat-cepat menahan Cio, meski pun ia tidak tahu alasan di balik mengapa Cio memukul seorang Khadafi Baswara-- laki-laki penyendiri yang tak pernah mau berteman dengan siapa pun-- Alfa tetap tak bisa melihat Cio dengan image teladan di sekolahnya memukul Dafi.

Gata hanya diam menatap ketiganya. Ia pikir jika itu bukan Cio dan Alfa, mungkin saat ini Gata hendak merogoh ponsel dan merekamnya untuk bisa ia unggah di sosial media.

Cio masih berusaha melepas pelukan Alfa yang berusaha menghentikannya. Tak habis akal, laki-laki itu menendang perut Dafi keras-keras membuat Dafi yang barusaja berdiri kembali tersungkur.

"Salah gue apa lagi sama lo?" tanya Dafi dengan suara serak.

"Lo nanya? Lo masih nanya?" Cio berhasil melepaskan diri dari Alfa. Ia kemudian maju dan kembali memukul wajah Dafi tepat mengenai pangkal hidung anak itu hingga mengeluarkan cairan merah. "Bangsat!"

"Aduh Gata ini bukan sinetron Indosiar! Bantuin kek malah bengong aja!" kata Alfa yang mulai kewalahan berusaha menghentikan Cio.

"Gue bantu apa dong? Bantu doa aja deh," sahut Gata kebingungan. Pikirnya lebih baik Alfa saja yang melerai Cio, karena laki-laki itu memang jago berantem, tidak seperti Gata yang dipukul sedikit aja pasti langsung mau nangis.

"Cio berhenti! Maureen mati dan lo kenapa malah kayak gini!" teriak Alfa.

Benar, tak butuh waktu lama Cio benar-benar berhenti, tapi tatapan marah masih singgah pada dua matanya. Ia menatap Alfa. "Lo tau dia gak mungkin bunuh diri, kan?"

Alfa diam, menunggu kata selanjutnya yang akan keluar dari mulut Cio.

Cio mengalihkan atensinya pada Dafi yang sibuk menghentikan pendarahan dari hidungnya. "Lo bunuh Maureen kan?"

Dafi yang tiba-tiba ditunjuk seperti itu mendadak beku.

"Bentar," ujar Gata yang tiba-tiba menyahut. "Maksudnya apa?"

"Seharusnya sekolah ini gak nerima pembunuh kayak lo bangsat!" Cio kembali memukul Dafi, kali ini tepat mengenai tulang pipi.

Alfa tidak menghentikan Cio lagi, otaknya tengah bekerja menafsirkan perkataan Cio barusan.

"Lo ada bukti?" tanya Dafi yang mulai merasa kesal.

"Bukti?" Cio tersenyum kecil. "Lo pembunuh, itu bukti."

"Tapi gue gak bunuh Maureen."

"Tapi lo gak ada bukti kalo bukan lo yang bunuh dia," sahut Cio yang kembali berlari entah ke mana meninggalkan tiga orang yang hanya terdiam meminta penjelasan dari segala tindakan dan perkataan Cio yang berujung ambigu.

Maureen adalah siswi SMA Anindita kelas 11 IPA 1. Perempuan itu adalah salah satu dari jejeran murid-murid kebanggaan sekolah. Pintar, ramah, disiplin, dan tentu saja baik. Ia bergaul dengan banyak teman, perempuan yang periang dan terkenal aktif dalam banyak perlombaan. Maureen juga lahir dari keluarga baik-baik, anak itu mendapatkan kasih sayang yang bisa dibilang cukup dari dua orang tuanya. Perempuan cantik bak Dewi Aphrodite itu sama sekali tidak terlihat memiliki beban masalah.

Lantas, apakah Cio bisa percaya begitu saja Maureen bunuh diri?

Ditambah Maureen tak pernah mengeluh apa pun di hadapan Cio membuat laki-laki itu tak memercayai akibat dari kematian Maureen.

Cio lebih mengenal Maureen dari siapa pun karena laki-laki itu sudah berteman dengan perempuan itu cukup lama, dan bukan sebuah bualan jika hidup Maureen memang baik-baik saja. Jika pun Maureen memiliki masalah, perempuan itu bukan tipe yang mudah menyerah, apalagi memilih mengakhiri hidupnya seperti itu.

Atau mungkin Cio hanya kecewa, mengetahu fakta bahwa Maureen dan dirinya memang tak pernah sedekat itu?

-𖧷-


㋛︎

-R E C A K A-
𝓀ℯℯ𝓅 𝒷𝓇ℯ𝒶𝓉𝒽 𝓊𝓃𝓉𝒾𝓁𝓁 𝓎ℴ𝓊 𝒹𝒾ℯ

.
.
.

- restart at Bekasi on 26 September 2021.

Hi. I'm back again with another stories, and now i'm trying for thriller.

Hope u like it:* see u~

RECAKADonde viven las historias. Descúbrelo ahora